Di Indonesia, Pandemi Covid 19 sudah memasuki gelombang kedua, ditandai dengan peningkatan kurva kasus positif secara signifikan. Penumpukan pasien Covid19 mulai terjadi, rumah sakit bahkan sudah kewalahan dan beberapa diantaranya menutup instalasi gawat darurat (IGD) mereka.
Kepemimpinan kini benar-benar diuji, tidak hanya untuk mengatasi aspek-aspek teknokratis penanganan Covid19, tetapi juga kepemimpinan dalam melakukan transformasi budaya masyarakat. Masih adanya masyarakat yang abai protokol kesehatan, tidak percaya covid, bahkan menolak untuk divaksin, menandakan bahwa tantangan pemimpin dalam melakukan transformasi budaya masyarakat untuk menghadapi Covid19 tidaklah mudah.
Meskipun di satu sisi, budaya gotong royong masyarakat mulai menggejala dan hidup kembali melalui berbagai inovasi akar rumput. Sebutlah misalnya gerakan pangan untuk Jogja, halte sedekah, berbagi makanan, secara gratis melalui gerakan gantung makanan, dll. Inovasi akar rumput yang dipelopori warga untuk ketahanan pangan ini penting, tetapi bisa menjadi sia-sia jika pada saat yang sama masyarakat tidak membangun budaya hidup sehat untuk mencegah persebaran Covid19, protokol kesehatan tidak dipatuhi, masker tidak dipakai, masih berda dalam kerumunan, dan tidak sering cuci tangan pakai sabun. Inilah realitas tantangan yang harus segera dijawab.
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI BUDAYA
Relasi antara kepemimpinan dengan transformasi budaya masyarakat di era digital sangat erat dan saling mempengaruhi. Setiap pemimpin memberi dan membawa pengaruhnya dalam proses pembentukan budaya masyarakat melalui transformasi nilai dan budaya yang menjadi visi-misi kepemimpinanya. Hofstede (1980) membagi budaya menjadi value dan culture.
Dalam keseharian, value ini tercermin dari keyakinan (believe), perilaku (attitudes), dan kepribadian (personality).
Sedangkan culture merupakan sebuah sistem nilai yang dianut oleh suatu lingkungan, di dalam itu ada pemimpin dan kepemimpinan yang mempengaruhi proses-proses transformasinya.
Di era digital, value dan culture ini juga mengalami proses transformasi. Digitalisasi kehidupan membentuk cara orang berkeyakinan, berperilaku dan berkepribadian berbeda dari sebelumnya.
Sebagai contoh, pembentukan keyakinan tentang nilai kebenaran tidak selalu identik dengan kepakaran dan fakta, tetapi lebih sering ditentukan oleh seberapa banyak orang yang setuju dan seberapa luas tersebar dan disebarkan (viral), meskipun hanya didasarkan pada sumber informasi yang tidak valid, misleading, tidak benar, bahkan HOAX.
Digitalisasi juga membentuk perilaku baru dari seseorang dalam proses interaksi sosial. Hasil penelitian Sirajul Fuad Zis dkk mengkonfirmasi hal ini, menyimpulkan bahwa digitalisasi telah mengubah perilaku masyarakat, khususnya kelompok milenial dan generasi Z dalam melakukan komunikasi dan interaksi personnal maupun sosial (Fuad Zis,dkk, 2021).