Lihat ke Halaman Asli

Budhi Masthuri

Cucunya Mbah Dollah

Potensi Terorisme Anak di Indonesia

Diperbarui: 19 April 2021   16:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber:www.kompas.com

Pertengahan tahun 2016 kita dikejutkan dengan beredarnya video yang menayangkan puluhan anak-anak, mengenakan baju loreng tentara, membakar paspor Republik Indonesia. Dalam video yang berdurasi 2 menit 14 detik ini terlihat adegan anak-anak yang bergantian menembak dengan senjata api. Diduga ini adalah propaganda ISIS untuk melibatkan anak-anak kedalam gerakan mereka (www.nasional.kompas.com).

Menurut pengamat terorisme Al Chaidar, perekrutan anak-anak dalam jaringan terorisme memang masih terbatas pada lingkup keluarga yang bergabung dalam kelompok teroris, meskipun demikian pencegahannya tetaplah menjadi sesuatu yang sangat urgent (www.bbc.com). Pelibatan anak-anak dalam gerakan terorisme dan peperangan juga diungkap UNICEP melalui sebuah dokumen yang diterbitkan pada tahun 2003, Guide to the Optional Protocol on the Involvement of Children in Armed Conflict. Dokumen ini menjelaskan bagaimana anak-anak direkrut, kadang dengan cara-cara paksa, untuk dijadikan tentara anak. UNICEP mencatat bahwa negara-negara yang mengalami konflik bersenjata seperti Afghanistan, Burundi, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Myanmar, Nepal, Somalia, Sudan, Chad, Kolombia, Filipina, Sri Lanka, Palestina dan Uganda merekrut anak-anak usia 15-18 tahun, bahkan ada yang masih berumur 7 tahun,  sebagai tentara baik laki-laki maupun perempuan (Unicep, 2003). Human Rights Watch bahkan menemukan setidaknya ada 300.000-an tentara di bawah usia 18 tahun yang sekarang aktif berperang dalam konflik bersenjata, dan ini dikuatkan sumber lainnya dengan menuliskan bahwa tidak sedikit dari mereka adalah anak-anak dibawah 10 tahun, anak-anak ini kadang bertindak lebih kejam dari tentara dewasa ketika menghadapi lawan-lawannya (www.parstoday.com). Padahal, anak-anak yang terlibat dalam perang negara adalah sumber daya yang sewaktu-waktu juga bisa direkrut oleh jaringan terorisme di negara tersebut.

Terorisme, termasuk yang melibatkan anak merupakan ancaman yang serius bagi keamanan sebuah negara, dimanapun. Oleh karena itu dibutuhkan komunitas intelijen yang kuat dan memiliki mampu yang baik untuk melakukan deteksi dini melalui pengumpulan informasi yang akurat. Ini akan sangat menentukan kecepatan pencegahan yang bisa dilakukan. Prasyarat seperti ini 25 tahun lalu telah menjadi salah satu kesimpulan CRC (Commission on the Roles and Capabilities of the United States Intelligence Community), sebuah Komisi yang bertugas melakukan evaluasi terhadap kerja-kerja komunitas intelijen di Amerika Serikat. Menurut Komisi ini, komunitas intelijen merupakan faktor penting yang menentukan keamanan negara, oleh karena itu CRC meminta agar kemampuan dan kinerja intelijen ditingkatkan secara lebih efisien (Final Report CRC, 1996).

Posisi dan peran strategis yang sama juga ada pada komunitas intelijen di Indonesia, terutama dalam mengantisipasi ancaman terhadap keamanan negara yang ditimbulkan oleh fenomena terorisme anak yang potensinya cukup besar. Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) bahkan pernah merelease data BNPT, ada 500 teroris yang ditahan sepanjang 2018 dan mereka ini memiliki sekitar 1.800 anak-anak, yang tentu saja sudah terpapar dengan ajaran orang tuanya. Dengan besarnya jumlah anak-anak teroris ini, upaya mencegah terorisme anak bisa menjadi agenda yang sangat strategis untuk memutus rantai jaringan terorisme di Indonesia. Tentu saja ini harus menjadi concern semua elemen negara, terutama komunitas intelijen. Seperti apa komunitas intelijen di Indonesia menyikapi dan meresponse potensi terorisme anak, kebijaan apa yang dibuat dan bagaimana pula efektivitasnya? Ini menjadi tema bahasan yang menarik dan penting dicermati melalui kajian tulisan ini.

Pemanfaatan Anak Untuk Terorisme 

Terorisme menurut UU No. 5 Tahun 2018 adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Perbuatan menggunakan kekersan atau ancaman kekerasan ini bisa dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak. Keduanya berbahaya dan memiliki derajat ancaman yang sama terhadap sistem keamanan nasional.

Saat ini, tindakan terorisme tidak lagi sebagai perbuatan individu, lebih dari itu sudah menjadi sebuah gerakan sosial politik. Ia berjejaring, dan jangkauan kerjanya juga melampaui sekat geografis negara. Terorisme dapat dilakukan dengan berbagai motif, mulai dari motivasi agama, ideologi, alasan untuk memperjuangkan kemerdekaan, membebaskan diri dari ketidakadilan, sampai dengan karena adanya kepentingan tertentu (Ali dalam Mareta 2018). Motivasi terbesar terorisme adalah berlatar belakang idiologis, karena itu selalu melibatkan hubungan keluarga. Dalam pada itulah anak-anak yang berada di lingkungan keluarga teroris pada saat yang sama menjadi bagian dari lingkaran jaringan terorisme itu sendiri. Sehingga keluarga seorang teroris tidak ubahnya menjadi inkubator untuk mencetak geneasi teroris selanjutnya melalui proses indoktrinsi sejak dini. Pola seperti ini terjadi dalam kam-kam ISIS, seperti cerita dalam video anak-anak yang membakar paspor dan menenteng senjata laras panjang di bagian awal tulisan. Ini merupakan bentuk pemanfaatan anak-anak dilakukan oleh kelompok teroris. Secara gamblang hal yang sama dilakukan teroris Boko Haram di Afrika, menggunakan anak-anak dan perempuan dalam banyak operasinya, bahkan sebagai bomber bunuh diri (www.liputan6.com).

Di Indonesia, pemanfaatan anak untuk aksi kekerasan terorisme yang termasuk menonjol adalah dalam kasus peledakan Gereja di Surabaya, sebagai salah satu rangkaian peristiwa terorisme yang terjadi sepanjang Tahun 2018. Dalam catatan penelitian Lusein dkk digambarkan bahwa rangkaian peristiwa aksi terorisme tersebut terjadi dalam rentang waktu 9 s.d. 16 Mei 2018, dimulai dengan insiden kerusuhan di Rutan Kelapa Dua, hingga berlanjut dengan  serangan bom pada tiga gereja berbeda di pusat kota Surabaya, yaitu Gereja  Santa Maria Tak Bercela, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), dan Gereja Kristen Indonesia (GKI). Aksi terorisme ini melibatkan enam orang yang masih memiliki hubungan keluarga terdiri dari ibu, ayah, dua anak laki-laki (18 dan 16 tahun), serta dua anak perempuan (12 dan 9 tahun) dilakukan oleh kelompok Jamaah Anshorot Daulah (JAD) yang merupakan pendukung ISIS di Indonesia (Lusein dkk, 2020) .

Kasus pelibatan anak dalam aksi teror di Surbaya tersebut bisa jadi baru gejala awal yang hanya tampak puncak kecilnya di permukaan. Di Indonesia  potensi pelibatan anak dalam jaringan terorisme (terorisme anak) sangat besar, jumlahnya bisa sampai ribuan. Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) penah merelease informasi bahwa berdasarkan data BNPT 500 teroris yang ditahan sepanjang 2018, mereka memiliki sekitar 1.800 anak-anak, yang tentu saja sudah terpapar dengan ajaran orang tuanya. Ironisnyaa mereka yang sangat potensial mengikuti jejak orang tuanya ini belum tertangani (pemerintah) secara memadai (www.medcom.id.). Padahal mereka ini sewaktu-waktu bisa direkrut jaringan terorisme sehingga menjadi bom waktu yang mengancam keamanan nasional. Kesedihan, dendam, kemarahan bahkan kebencian kepada simbol-simbol negara akibat menyaksikan orangtuanya yang ditangkap bahkan terbunuh di depan matanya saat operasi penangkapan, adalah modalitas psikologis yang lebih dari cukup untuk menjadikan mereka terperangkap atau bahkan diekspolitasi kedalam terorisme anak. 

 Pada bagian lainnya, anak-anak sekolah di Indonesia sekarang juga rentan terpapar paham radikalisme. Survey-survey dan penelitian yang pernah dilakukan berbagai lembaga mengkinfirmasi hal ini. Survey PPIM UIN Jakarta misalnya, menyimpulkan bahwa pengaruh intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi Z Indonesia, yakni mereka yang lahir setelah 1995, dapat dikatakan dalam kondisi seperti "api dalam sekam" (Muthahhari, 2017). Penelitian lain yang dilakukan oleh Balai Litbang Agama Makassar, juga menemukan bahwa layanan pendidikan agama di sekolah-sekolah yayasan atau organisasi keagamaan, hanya memberikan layanan pendidikan agama yang menjadi ciri khas yayasan. Hal in terjadi di sekolah Yayasan Islam maupun Kristen (Hyadin, 2017). Tingginya potensi keterpaparan paham radikalisme dikalangan anak-anak Indonesia ini perlu disikapi dan diresponse secara tepat oleh komunitas intelijen melalui berbagai kebijakan dan program yang mengena.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline