Warung Kopi pertama berdiri Tahun 1475, di Konstantinovel (Istambul) Turki. Ketika itu minum kopi menjadi unsur budaya penting di sana, bahkan seorang istri boleh menceraikan suami jika tidak mampu menyediakan kopi (Mustika, 2015).
Di Indonesia sejarah Warung Kopi dimulai pada tahun 1878 ketika Liaw Tek Soen membuka Warung Tinggi Tek Sun Ho di Hayam Wuruk, Jakarta. Menyajikan dua menu terkenal, Kopi Jantan dengan rasa sangat keras untuk meningkatkan vitalitas, dan Kopi Betina yang moderat dan disukai anak muda.
Selain di Jakarta, jejak sejarah Warung Kopi juga bisa kita temukan di Belitung (1921) ada Warung Kopi Ake, Pematang Siantar (1925) ada Kedai Massa Ko Tong, Bandung (1930) ada Warung Kopi Purnama, Makassar (1946) ada Warung Kopi Phoenam, dan di Banda Aceh (1974) ada Warung Kopi Solong. Seperti halnya Warung Kopi Tinggi Tek Sun Ho, Warung Kopi Solong inipun masih bertahan dan kini menjadi salah satu wisata kuliner yang wajib kunjung bagi wisatawan bila ke Banda Aceh (www.coffeeland.co.id).
Tradisi minum kopi awalnya adalah kebiasaan orang pedesaan untuk mengiringi aktivitasnya, mulai dari rumah, kebun, pengajian, dan di kedai (Prasojo, 2014). Kebiasaan ini kemudian bergeser di warung kopi, dan menjadi tradisi masyarakat perkotaan. Interaksi sosial antar sesama peminum kopi membentuk relasi sosial (Dea & Indah, 2016). Berbagai tema obrolan mendorong kesadaran kolektif, dan penjual kopi menjadi bagian dari proses interaksi tersebut.
Basis kesadaran seperti ini selanjutnya menentukan budaya dan pemikiran kolektif (supra struktur), bahkan berkembang menjadi tindakan konkret (Handerson & Talcot, 1964). Seperti di Tasikmalaya Jawa Barat misalnya, ada Komunitas Tangan Kanan, yang secara rutin bergerak memberi santunan untuk yatim piatu dan guru, gerakan ini bermula dari obrolan di warung kopi (SKH Radar Tasikmalaya Online).
Dalam skala lebih besar, sejarawan Prancis, Michelet, dikutip Mark Pendergrast dalam Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed Our World, bahkan menggambarkan bagaimana diskusi di warung-warung kopi saat itu terakumulasi menjadi gerakan sosial yang berujung pada Revolusi Prancis (Makki, 2011).
Seiring jalannya waktu, warung kopi bermetamorfosa, sebutlah misalnya Starbucks yang fenomenal pada 1971. Di Indonesia, warung-warung kopi modern berbentuk cafe, coffeeshop, dll juga tumbuh subur, menawarkan kenyamanan untuk memanjakan pelanggannya. Kemudian internet mulai masuk dan menjadi menu wajib yang disediakan, ini menandai era baru yang mengalienasi.
Penelitian Sally dan Firdaus menemukan bahwa kini warung kopi telah menjadi tempat mencari akses wifi, berinteraksi antar individu, serta alternatif lain sebagai tempat hiburan masyarakat. Pengunjung yang dahulu aktif ngobrol berbagai isue sosial, kini sibuk main game, browsing, atau berjejaring sosial instagram, facebook, twitter, youtube, dan skypee, menghabiskan waktu tanpa tujuan yang jelas (Sally & Firdaus, 2018).
Penelitian lainnya, Irwanti Said juga menemukan bahwa warung kopi telah menjadi tempat kerja/kantor (Irwanti,2017). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika belakangan ini pemandangan di warung kopi lebih banyak memperlihatkan orang-orang yang diam terpaku menatap android atau laptop, sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Internet seakan telah mengubah segalanya, tanpa terkecuali warung kopi. Internet juga menjadi penyangga industri 4.0, menggeser fungsi warung kopi sebagai media interaksi sosial menjadi semata-mata tempat penjualan kopi. Interaksi di dalamnya berubah menjadi hubungan kontraktual yang kering antara penjual dengan pembeli kopi.