Judul Buku: Anak Arloji
Penulis: Kurnia Effendi
Penerbit: PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta
Cetakan: I, Maret 2011
Isi: 237 Halaman
ISSBN: 978-979-024-351-4
Kini kebencian telah menjadi sikap sosial. Ia tak lagi bisa dipandang hanya sebagai sepicis pecahan hati pribadi. Di tengah-tengah masyarakat kita, seolah-olah ada hukum tak tertulis yang mewajibkan seseorang untuk membenci apa yang dibenci oleh kaumnya. Faktanya, di segala penjuru negeri, beberapa kelompok masyarakat dari generasi ke generasi begitu tangkas membenci, mengerasi, dan bahkan meneror kelompok lainnya. Baik karena persaingan ekonomi, pemihakan politik, maupun perbedaan pemahaman keagamaan yang belum bisa disekepalakan.
Musabab kebencian
Dari mana datangnya kebencian? Anak Arloji, cerpen yang menjadi judul buku kumpulan cerpen karya Kurnia Effendi ini, menuding kegagapan manusia dalam menafakkuri takdir sebagai musabab utamanya. Karena kegagapan itulah manusia kerap menatap selusin kebaikan sebagai segantang keburukan. Persis seperti Bustamam (dengan huruf akhir “m”) yang tak mampu menghikmati takdir kematian bayinya yang kebetulan bersamaan dengan matinya arloji pemberian Syarif, dokter penangan proses persalinan istrinya (hlm. 174).
Ia pun menuding Syarif dan arlojinya sebagai bendah bertulah penjemput maut. Ia lupa bahwa tindakan menghadiahkan arloji kepada semua pasien adalah kebiasaan sang dokter. Tapi mata Bustamam telanjur gelap. Pikirannya kalap. Tak pelak, ia mewariskan sambatan, tudingan, dan kesesat-pikirannya kepada tetangganya, Bustaman (dengan huruf akhir “n”), yang juga tengah menanti kelahiran bayinya melalui tangan Syarif. Kontan saja Bustaman terpengaruh. Sehingga ia langsung merisihi Syarif yang juga menganugerahinya arloji beberapa menit setelah kelahiran anak pertamanya.
Di halaman lain, Noriyu meriwayatkan bahwa kebencian bisa berkecambah seiring kesesatan tindak pemakrifatan relasi antara diri (self; aku, kami, kita) dan sang lain (the other; kau, dia, mereka). Selama ini keduanya kadung dianggap terpisah setakat kodrat keterpisahan jasadiah manusia. Pandangan ini jelas salah. Sebab diri dan sang lain sejatinya merupakan kesatuan tak terberai. Justru kebencian dan puak-puaknyalah yang menceraikan keduanya. “Dia sangat tahu aku adalah bagian dirinya yang memisahkan diri saat perasaan kecewa, sedih, marah, atau kehilangan sedang meremas hatinya” (hlm. 18), begitu sindir Keff, sapaan penulis, dalam cerpen yang didedikasikannya untuk Nova Riyanti Yusuf ini.
Sementara itu, cerpen Kamar Anjing menegaskan isyarat Noriyu. Dikisahkan di sana, Adit amat membenci ayahnya yang lebih menyayangi “sesosok” boneka kayu, Chocky, daripada dirinya. Lantas Adit menggugat ayahnya. Tanpa dinyana, di depan Adit, sang ayah membakar Chocky. Adit yang semestinya senang dengan musnahnya Chocky malah terpukul, menutup diri, dan mogok sekolah. Pada Kris, karib yang melawatnya, ia berkata; ayah telah membunuhku. Bukankah Chocky itu aku? Ayah telah membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku (hlm. 99).
Jalan keluar
Adakah cara agar manusia dapat bebas dari kebencian? Buku ini mengatakan; ada. Pertama, manusia harus melampaui nama-nama. Manusia tak boleh tersekrup ke dalam wadah ketimbang isi sebagaimana ia tak boleh tercebur ke dalam bentuk ketimbang substansi. Apa yang tercadang di balik nama-nama, tersimpan di dalam wadah, dan terumpet di dalam bentuk pada hakikatnya merupakan petunjuk tentang kemanunggalan asal-mula segala apa dan semua siapa. Itulah konsep etik yang diajukan oleh cerpen Aromawar.
Agama (Islam) sendiri secara tersirat menganjurkan konsep etik di atas. Dalam Jalan Teduh Menuju Rumah, termaktub hikayat Muhammad SAW yang selalu menyedekahkan bubur kepada seorang Yahudi tua-buta. Padahal saban hari si Yahudi tak pernah lupa mencerca beliau. Uniknya, hingga wafat, Sang Nabi tak sekalipun memberitahu si Yahudi kalau dialah si tercerca itu (hlm 195-196). Bukankah ini teladan agar manusia harus berkasih-sayang tanpa menetra “nama” yang dikasihsayangi?
Kedua, La Tifa memroposalkan agar manusia menghindari klaim kebenaran (truth claim) diri atau kelompoknya. Manusia harus sedia “bertelanjang-ria” dan mendaku kesesatan dirinya. “Di depan cermin besar dalam kamar ini, saya berdiri telanjang. Sekali lagi saya ingin menghukum diri sendiri. Bahkan, saya tidak hendak menyalahkan pakaian yang tadi saya kenakan. Tidak kepada siapa pun, juga kepada apa pun” (hlm. 126). Begitu gumam Latifa, tokoh utama cerpen itu, yang merasa sangat berdosa karena telah berzina dan menipu ibunya.
Kematian pengarang
Selain pasal kebencian, Keff juga menyajikan cerita-cerita lain yang diikat oleh tema ihwal keganjilan kehidupan kota. Ada lakon paranoia dan mitologi manusia dalam Pertaruhan dan Kuku Kelingking. Ada hikayat kepelikan pribumisasi kesadaran gender dalam Panggilan Sasha dan riwayat kegetiran korban Tsunami di Aceh dalam Laut Lepas Kita Pergi. Ada juga kisah mistis dalam Tetes Hujan Menjadi Abu dan Penggali Makam. Bagi para perindu –meminjam istilah Joko Pinurbo dalam epilog buku ini- “sastra cinta” Keff, Sepanjang Braga dan Wangi Kaki Ibu kiranya boleh dilantik sebagai pelipurnya.
Bila dilirik dari sudut kepengarangan, Keff tampak masih gandrung berakrobat dengan kata-kata, melanyak-lanyak batas tema, menyinergikan bunyi-diksi, dan memintal metafora. Hal serupa bisa dipungut dari karyanya terdahulu, Kincir Api (PT. Gramedia Pustaka Utama: 2005), yang memenangi penghargaan lima besar Khatulistiwa Literary Award 2006. Sayangnya, buku ini kekurangan daya gedor. Buku berisi empat belas minus satu cerpen yang pernah dipublikasikan oleh berbagai media massa ini hanya menggantung di cangkak pemerkaraan letupan kejiwaan manusia saja. Tak ada secerpen pun yang beraura kritik politik-kekuasaan.
Selain itu, ketiadaan rujukan pustaka kisah Muhammad SAW dalam Jalan Teduh Menuju Rumah sebagaimana terkutip di atas, telah meruntuhkan tembok antara kemengaliran dan kemelanturan dalam tindak bercerita. Andai Keff melampirkannya, pasti hal itu bisa dihindari. Bahkan bukan tidak mungkin cerpen terteduh yang menutup rangkaian “prosesi ritual pertunjukan sastra cinta” ala Keff itu dapat menginspirasi gerakan pemberantasan fundamentalisme agama yang memopuler akhir-akhir ini. Sudahlah! Barangkali sekutil cela terakhir ini merupakan bukti bahwa pengarang telah mati bahkan sebelum ia mengarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H