Illustrasi: Shutterstock
********************************************************************
Tanpa basa-basi, engkau menanyakan dimana letak bunga tulip hitam itu dipajang. Tentu saja aku tak tahu, tapi mari kita cari bersama. Sosok yang sangat kuhargai itu kugandeng tangannya, entah hendak mengarah kemana. Lebih baik kita tanya-tanya pengunjung lainnya, dimana letak bunga tersebut. Ini pameran bunga terbesar di negeri, area terlalu luas untuk ditelusuri. Waktu kami tak banyak.
Tak jua bersua. Dimana ya, tanyamu sekali lagi. Baik, baik, kataku menenangkan dirinya. Kuusap punggung jarinya. Tentu kali ini kita tanyakan letak bunga itu pada petugas pameran, yang bersiaga di titik-titik tertentu.
Agak jauh letaknya. Bagaimana? Ah, namun kau bersikukuh menanyakan, dimana letak bunga itu. Tentu, kita akan segera menemukannya, bukankah ini jalan setapak menuju arah yang ditunjuk penjaga tadi. Aku kembali menuntunmu, sambil kutunjukkan wajah tak lelahku, berbingkai senyum sumringah. Merupakan kehormatan bagiku, berjalan bersamamu menuju sesuatu yang kauangankan.
Hei lihatlah, sementara menapak ada pink Angelique and orange Dordogne di kanan kiri. Ah taman bunga di hati kita terbentang, bukan? Kau mengangguk tapi dengan perlahan bertahan menanyakan dimana bunga itu.
Andai aku bisa terbang tentu kita melayang bersama kesana, melewati warna-warni sejuta kembang, melewati kerumunan ribuan pecinta puspa...
Ah, akhirnya, itu dia. Beberapa tangkai tulip hitam, tegak mencengkeram di atas tanah kehidupannya. Kau menghentikan langkah tertatihmu. Berdiri dihadapannya, tak bergeming. Seakan semua aura puspa terhisap ke arahmu. Kalian hampir sama, misterius, tegar..
Tiba-tiba kalian melebur. Dan hitam adalah duka. Aku tersedu mencarimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H