Sejak kecil, ada rumus sehat yang murah meriah dan selalu diajarkan ibu kepada saya. Rumus sederhana yang mencakup tiga unsur penting : makan, pikiran, dan hati yang damai. Rumus yang hampir sama seperti yang dituliskan Elizabet Gilbert : Eat, Pray, Love. Bila unsur penting tersebut terpenuhi, sehat akan selalu melekat dalam kehidupan kita.
Ibu saya seorang perawat di Puskesmas dan membuka layanan jasa pengobatan di rumah, bagi para pasien yang ada di sekitar Toho, satu desa yang berada di Kabupaten Pontianak, Kalbar. Meski bertugas sebagai juru medis, ibu jarang sekali memberikan obat bila saya dan tiga saudara saya, meriang atau terkena demam. Biasanya beliau menempelkan punggung tangannya di kening, menyuruh meminum air yang hangat, dan beristirahat sejenak. Lalu, ibu akan menuju ke dapur dan memasak. Bila pekerjaannya di dapur sudah selesai, ibu akan menyuruh kami yang sedang tak enak badan untuk melahap masakannya.
Saya pernah bertanya kepada ibu apakah beliau pelit untuk memberikan kami obat, bila terkena meriang atau demam. Padahal, stok obat di lemari penyimpanan yang terbuat dari kayu, tak sedikit jumlahnya. Kok, ibu mengambil tindakan medis yang sama bila kami meriang ataupun demam, yakni : makan. Pertanyaan saya dijawab ibu sambil tersenyum. Menurutnya, obat mujarab pertama dari segala penyakit agar menjadi sehat adalah makan yang cukup. Tentunya, mencakup empat sehat lima sempurna. Meski semahal apapun obatnya, bila asupan makanan dalam tubuh tak cukup, akan mempengaruhi sistem kerja organ tubuh kita. Perut yang kosong akan membuat kerja organ terganggu, dan menimbulkan efek buruk bagi tubuh.
Selain makan, obat mujarab kedua agar sehat ala ibu saya adalah pikiran. Menurutnya, apapun yang dirasakan oleh tubuh kita, merupakan hasil dari apa yang kita pikirkan. Jika kita merasa capai dan sakit, pasti pikiran kita sedang kacau dan menginginkan hal itu terjadi. Banyak psikolog mengatakan untuk selalu berpikir positif dalam menjalani hidup. Pikiran positif tersebut akan menuntun kita pada kesehatan secara jasmani dan rohani. Sehingga, kita bisa menjalani hidup dengan tenang dalam segala keadaan. Menurut ibu, pikiran yang positif bisa terpancar dari ketulusan senyum yang mengambang di bibir dan menerima segala keadaan dengan ikhlas. Pantas saja ibuku selalu tersenyum bila dibayar dengan ayam dan beras, bila pasien tak memiliki uang untuk berobat. Tak jarang, ada juga yang hutang. Buku besar rekam medis pasien ibu di meja kerjanya, pasti ditemukan tanda minus di samping angka-angka yang tertulis dalam lingkaran. Bahkan, ibu tak pernah mengeluh atau marah bila pintu rumah digedor pasien di pagi buta, saat ia tertidur pulas. Ibu akan beranjak dari tempat tidurnya, mengenakan kacamata minusnya, dan dengan sabar memeriksa pasien sambil menahan kantuk.
Obat mujarab terakhir menuju sehat versi ibu adalah hati yang damai. Emosi, sakit hati, dan dendam dalam diri, akan mempengaruhi hubungan antar sesama dan lingkungan sekitar kita. Hati yang damai dapat terjadi dengan jalinan yang harmonis antara sesama dan sang pencipta. Ini ditunjukkan oleh ibu saat berinteraksi dengan para pasien untuk mengingatkan mereka, sambil berkata : “Minum obatnya harus teratur dan jangan lupa berdoa. Pasti lekas sembuh,”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H