Potongan daun dan batang teh asli, diseduh dengan air panas dalam kendi tanah liat. Seduhan teh disuguhkan dengan cangkir berbahan sama dengan kendi. Dua potong gula batu berbentuk bulat menjadi pemanisnya.
Bagi kebanyakan orang, secangkir teh poci tak bermakna apa-apa. Tapi bagi kami, secangkir teh poci adalah cerita. Tentang makna sahabat yang mengalir dengan tulus dan jujur. Butuh perjalanan panjang untuk mengicipi nikmatnya kehangatan regukan seduhan teh poci seharga Rp 1.000.
Entah siapa yang memulainya. Tapi yang pasti, perjalanan selalu di mulai dari rumah kostku di Gang Pinus No. 4B, Janti, Yogyakarta. Berhubung, aku mahasiswa kere yang tak punya kendaraan dan selalu mengirimkan pesan singkat ‘jemput aku’ setiap ada kegiatan.
Kuda besi yang kami tunggangi selalu melewati jalur yang sama menuju Imogiri. Janti-Gedong Kuning-jalan Imogiri-pasar Imogiri, dan selalu dengan waktu yang sama, di atas 00.00 pagi. Jarak sejauh ± 14 km harus ditempuh untuk sampai ke Imogiri. Tamparan dingin angin pagi yang menembus kulit ari, tak mematahkan keinginan toro, desi, toni, agus, rio, sutris, sendo, peni, rudith, erlin, yogi, daniel, widi, eno, john, andros, puja, hutri, dan aku, ke sana. Kami selalu mengangguk setuju jika seorang diantara kami berkata “ngepoci di Imogiri”.
Tak ada yang menarik di pasar imogiri. Itu pendapat orang. Tapi bagi kami, tempat indah untuk bercengkrama sambil ngepoci. Menuju ke warung yang menjual teh poci berjarak sekitar 10 meter dari pasar, sebelumnya melewati potongan-potongan kayu yang diikat, yang dijual untuk kayu bakar. Ikatan kayu yang diletakkan berdiri dan berjejer dari pinggir jalan pasar hingga halaman warung ini, seolah menjadi tembok alami yang menghubungkan pasar dan warung. Penerangan pun menggunakan nyala obor dari bambu, yang ditancapkan pada penyangga kayu dengan jarak sekitar 1,5 meter, di sisi badan jalan tanah, kanan dan kiri.
Warung itu hanya berdinding gedheg, dan berisi beberapa meja dan kursi. Sederhana, memang. Tapi, jangan berfikir bahwa tempat itu sepi. Sapa ramah ibu penjual teh poci, selalu menarik pengunjung walaupun sudah larut hari.
Setiap kami datang, disediakan “suite room” yang letaknya sekitar 5 meter di belakang warung. Fasilitas yang disediakan pun sedikit “eksklusif”. Sebuah meja panjang dan dua kursi yang terbuat dari kayu dengan panjang ± 4 meter, dalam pendopo, tanpa dinding, dengan pengharum ruangan alami aroma sayur busuk dan kotoran sapi.
Banyak waktu yang dihabiskan dengan diskusi hingga teh poci tersaji. Masalah kampus, seretnya kiriman datang, cinta ditolak, rencana naik gunung, rindu bonyok, buku terbaru yang dibaca, dan lain sebagainya, menjadi topik pembicaraan yang akan terhenti saat melihat si ibu penjual teh poci membawa baki.
Selain itu, ada pula menu mengenyangkan perut. Nasi goreng, bakmi goreng, bakmi godhog, gorengan, bakwan, pedas, sedang, dan ra’ nganggo lombok, tergantung selera pribadi.
Pernah, warung teh poci Imogiri dijadikan tempat untuk menyelesaikan pertengkaran. Orang yang sedang bermasalah, disuruh berbicara empat mata di pojok ‘suite room’. Rekan yang lain, ketawa-ketiwi saling ledek di singasana kursi kayu.
Minum teh poci bak hidup yang kita jalani, rasa pahit dan manis. Saat teh poci diminum, akan meninggalkan sisa sedikit rasa pahit di tengah lidah dan rasa manis di tepi lidah. Bahkan, kebanyakan gula batu pada teh poci, akan menyebabkan rasa pahit yang berlebihan dibandingkan rasa manisnya. Ternyata pepatah orang tua mengenai “sesuatu yang terlalu berlebihan tidak baik”, berlaku juga saat kita minum teh poci.
note : ini catatan di fesbuk saya : http://www.facebook.com/notes.php?id=1322844837#!/note.php?note_id=106326081259
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H