Hukum di Indonesia benar-benar dikendalikan kaum berduit. Penunggang motor gede, seperti Harley Davidson termasuk di dalamnya. Harga sepeda motor yang mahal sudah cukup jadi penanda kekayaan mereka. Dan kesewenangan di jalan raya merupakan potret betapa berkuasanya mereka atas hukum, yang kedaulatannya seharusnya milik rakyat.
Kita sering menemukan bukti, bagaimana mereka berlaku bak raja ketika konvoi lebih dari lima saja. Semua pengguna jalan raya dipaksa mengalah, harus minggir ketika mereka melintas. Tak jarang, mereka dikawal patroli polisi lalu lintas. Jika perlu, disiapkan petugas pengatur lalu lintas agar mereka leluasa melintas, dan diberi hak menerabas lampu pengatur lalu lintas, kendati berwarna merah.
Betapa berkuasanya mereka sudah saya alami sendiri pada Jumat, 31 Agustus 2012, sekitar pukul 16.05 WIB. Saya yang berboncengan dengan istri merasa ditendang dan terjatuh di perempatan Purwosari. Akibatnya, stang motor miring, knalpot rusak, dan kami mengalami luka lecet dan lebam-lebam di kaki dan tangan.
[caption id="attachment_204957" align="aligncenter" width="600" caption="Stang gak simetris lagi..."][/caption]
Saya lupa persisnya berapa banyak anggota konvoi sore nahas itu. Yang jelas, lebih dari lima kendaraan dan dikawal dua polisi dengan sepeda motor patroli. Dua polisi berjaga di sisi selatan dan persis di tengah perempatan, mengatur lalu lintas, meminta kendaraan dari semua arah berhenti. Ketika mereka melintas, lampu pengatur berwarna merah, dan akan berubah hijau setelah sekitar 20 detik.
Oleh polisi yang berjaga di tengah, kami dihampiri dan ditanya keadaan kami, lantas dibiarkan pergi.
Sejujurnya, saya memang sengaja masuk ke tengah konvoi, dengan niat ingin ikut menikmati kemewahan yang dimiliki para penunggang motor gede, yang dikawal dan dibolehkan melanggar lalu lintas. Antrian kendaraan berhenti agak panjang, lebih dari 50 meter, ketika itu. Yang terpikir oleh saya, kenapa penunggang Harley Davidson boleh menerabas, sementara saya tidak. Toh, kami sama-sama pembayar pajak, seorang warga negara yang memiliki hak dan kedudukan yang sama terhadaphukum.
Lagi pula, apa istimewa mereka dibanding mobil ambulans, atau pejabat negara atau tamu negara, sehingga memperoleh pengawalan dengan sirine yang meraung-raung? Dua patroli pengawal dari Satuan Lalu Lintas Polri, pasti lebih tahu bunyi pasal pada Undang-undang tentang Lalu Lintas dibanding saya.
[caption id="attachment_204958" align="aligncenter" width="600" caption="Knalpot njepat, nganga semaunya..."]
[/caption]
Konyol memang hidup di negeri bedebah. Saya selalu menepi jika ada ambulans melintas begitu pula ketika ada rombongan presiden atau tamu negara, atau mobil pemadam kebakaran. Namun, sikap akan berbeda ketika raungan sirine itu berasal dari rombongan penunggang motor gede.
Istri saya marah kepada saya karena kesembronoan saya itu. Dan dia paham, saya paling emosional ketika ketidakadilan di jalan raya dipiara oleh aparat penegak hukum negara.
“Kalau sampai kita jadi cacat karena terjatuh saat itu, seperti apa penyesalan yang bakal muncul? Apakah mereka akan bertanggung jawab?
Yang sudah dilakukan itu tindakan konyol. Kalau kita terluka, cacat atau meninggal dunia, tak bakalan kita tidak dipersalahkan. Hukum sudah milik mereka.....
Jangankan kita. Coba ingat Sophan Sophiaan dan korban tabrakan di Yogyakarta tempo hari? Apakah penunggang Harley itu dihukum atas kesalahannya? Kita ini orang kecil, yang tak diakui hak-hak hukumnya di negeri ini. Tak ada gunanya mengikuti perilaku mereka, menerabas lampu merah semaunya,” ujar istriku.
Lemas. Syok.
Syok lantaran istriku mengingatkan usia pernikahan kami yang sudah delapan tahun usia, namun belum dikaruniai keturunan. Ia juga mengingatkan, posisi duduk saat terjatuh, bagi seorang perempuan lebih mencemaskan dibanding luka apapun.
Sejak itu, istriku trauma. Setiap mendengar raungan sirine, selalu kebingungan, takut. Saya pun demikian. Menjadi terganggu, tak lincah di jalan raya seperti sebelumnya. Saya hanya bisa menghujat dan melaknat tindakan penunggang Harley Davidson yang menendang sepeda motor saya.
Kadang saya memimpikan kejadian konyol terwujud: yakni penunggang Harley Davidson atau motoor gede yang mencelakakan orang lain, terjatuh lantas dihakimi massa. Entah dianiaya atau dibakar, sebagai ekspresi kejengkelan atas keadilan hukum yang selalu berpihak kepada mereka.
Ironisnya, peristiwa yang saya alami, kemudian saya ketahui dalam rangka merayakan ulang tahun klub motor besar di Solo. Lebih menyakitkan lagi membaca berita hasil konperensi pers dari penyelenggara, yang menyatakan ingin menunjukkan santun di jalan dan ingin menghapus persepsi publik bahwa penunggang motor gede selalu arogan di jalan raya.
Saya paham, polisi yang mengatur lalu lintas tak pernah berani tegas kepada mereka. Di balik helm yang dikenakan, selain pengusaha dan orang yang sanggup membeli pasal, terdapat wajah-wajah kebal hukum. Kadang atasan mereka di kepolisian, atau petinggi-petinggi angkatan bersenjata. Dan kita paham, hanya merekalah yang sanggup menafsir dan bisa (dan biasa) membengkokkan hukum.
Entah sampai kapan, mereka masih bisa arogan.
Atau, jangan-jangan mereka adalah malaikat yang sedang menyamar, memberi jalan atau memprovokasi rakyat untuk menuntut keadilan, dengan hukum ala rakyat, yang sudah pasti tak lazim dan beda dengan pasal-pasal perundang-undangan. Jika memang demikian halnya, maka saya berterima kasih kepada mereka.
Saya akan menunggu datangnya suatu masa, ketika hukum ditegakkan oleh massa, dan dengan cara mereka. Itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H