Lihat ke Halaman Asli

Jokowi Jangan ke DKI

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak orang meletakkan harapan terlalu tinggi kepada Jokowi, yakni memimpin DKI. Seolah-olah, jika Pak Jokowi mampu memenangi pemilihan kepala daerah di Jakarta, maka ia akan bisa sesukses perannya menata kota dalam kapasitas sebagai Walikota Surakarta. Harapan demikian sah adanya, meski saya menyebutnya sebagai berlebihan. Saya tak setuju beliau bertarung berebut kursi DKI-1.

Realistis saja. Persoalan DKI Jakarta tak serumit Kota Surakarta atau Solo.  Secara politik/ekonomi, yang berkepentingan dengan Solo tak sebanyak di ibukota. Belum lagi jika kita bicara tentang jumlah mafianya. Pertautan kepentingan politisi, birokrat, preman dan pengusaha sudah sedemikian parah. Dalam konteks ini, saya yakin Pak Jokowi tak bakal sanggup menghadapi. Mau disebut naif pun tak soal. Yang saya pahami, sejauh pengenalan saya terhadap kepribadiannya, Pak Jokowi bukan tipe orang yang mudah diajak kolusi.

Kebanyakan orang Jakarta, terutama kelas menengahnya, sudah pasti gerah dengan kemacetan yang terjadi di sana-sini. Mereka sudah terbiasa dengan budaya kerja moderen, di mana ketepatan waktu kehadiran menjadi penanda reputasi dan harga diri. Kelas menengah Jakarta ingin lancar di setiap perjalanan, baik ketika naik taksi atau membawa kendaraan pribadi, baik untuk urusan pekerjaan maupun jalan-jalan.

Membenahi sistem transportasi, termasuk urusan penyiapan infrastruktur, sudah bukan perkara mudah untuk saat ini. Bukan soal mahalnya biaya semata, tapi cukup banyak wilayah yang bukan menjadi wewenang pemerintah provinsi semata. Pemerintah pusat, misalnya, juga harus terlibat di jalan-jalan negara, seperti kawasan jalan Thamrin-Sudirman.

Jujur, saya kaget juga ketika Pak Jokowi ikut fit and proper test kandidat gubernur DKI di PDIP. Tapi, sejenak kemudian saya bisa memahami, bahwa beliau sedang 'membantu' DPP PDIP untuk menunjukkan eksistensinya sebagai partai besar. Agak riskan jika PDIP tak menampilkan calonnya sendiri, meski saya yakin, sejak awal sudah diperhitungkan matang-matang, mengenai kemungkinan menang/kalahnya, termasuk untuk atau ruginya.

Nono Sampono yang bersama Jokowi turut fit and proper test di kantor pusat PDIP di Lenteng Agung, belakangan dilirik untuk dipasangkan dengan Alex Noerdin oleh Partai Golkar. Sementara calon incumbent, Fauzi Bowo masih menimbang akan berpasangan dengan siapa, tergantung nilai 'strategis' yang akan didapatnya. Partai Demokrat, sepertinya masih menginginkannya. Partai Golkar pun, menurut saya, masa ada kemungkinan terbelah dukungannya, mengingat faktor sejarah kedekatan Fauzi Bowo dengan senior-senior partai kuning.

***

Jika ada yang menyebut popularitas Jokowi lebih tinggi dibanding Fauzi Bowo, saya tak yakin itu akan seturut dengan tingkat keterpilihan (elektabilitas) di DKI. Jokowi populer di tingkat lokal hingga nasional karena terlalu banyak berita positif tentangnya, sebagai akibat capaian hasil dari kebijakan-kebijakannya yang dinilai pro-rakyat. Sebaliknya, Fauzi Bowo 'hanya' dikenal di tataran capaian prestasinya dalam skala 'lokal', dan celakanya, persepsi negatif telanjur kuat terbentuk akibat perilaku bermedia kaum kelas menengahnya.

Bahwa Jokowi banyak dipuji kelas menengah Jakarta, pun ada benarnya. Arus media utama dan medis sosial menempatkan Jokowi seolah-olah lebih tinggi dibanding Fauzi Bowo. Padahal, menurut saya, persepsi demikian sangatlah subyektif. Orang yang merasa terganggu kenyamanannya akan menimpakan kesalahan kepada Fauzi Bowo semata, sebab dialah penanggung jawab merah-hitam-nya Ibukota negara.

Jokowi dengan segenap prestasinya lantas dijadikan alternatif berpaling dari Fauzi Bowo. Pertimbangannya, saya duga, cuma kurang-lebih demikian: daripada masih Fauzi Bowo dan tak akan menghasilkan perubahan signifikan, apa salahnya mencoba yang lain?

Benar, bahwa moralitas kepemimpinan Jokowi bisa dijadikan rujukan bersandar. Tapi, apakah seorang Jokowi bakal sanggup menghadapi dan berkompromi dengan perilaku kolutif para pengusaha-pengusaha di Jakarta? Andai Pak Jokowi bisa pun, saya tak jamin beliau mampu membereskan (aparatus) birokrasi di bawahnya, yang memiliki kewenangan-kewenangan teknis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline