Senin subuh, 15 Desember, menjadi hari tak terlupakan bagi saya dan tiga kawan seperjalanan. Sepulang dari Banyuwangi, kami buru-buru ke Tebuireng untuk ziarah Gus Dur, sebelum diberhentikan seorang polisi. Kalimat default pun meluncur dari mulut Pak Polisi, "Selamat pagi. Boleh lihat surat-suratnya?"
Teman yang pegang kemudi pun segera mengeluarkan dompet, mengambil SIM A-nya. Karena pemilik mobil masih tidur, maka dibangunkanlah dia. Begitu tahu di sebelah kanan mobil ada polisi, spontan dia bertanya, "Apa salah saya?" Suaranya menggelegar.
Rupanya, suara pemilik mobil yang kekuatannya di atas 100 dB di pagi subuh itu, membuat sang polisi kaget. Singkat cerita polisi dongkol. Lalu, dimintalah pengemudi menyingkir, menjauh dari mobil yang kami tumpangi. Spontan pula, saya dan dua teman semobil ikut mendatangi polisi yang membawa pengemudi kami berurusan di samping mobil patroli mereka, Hyundai Elantra bernomor polisi X 1--- ?? (maaf, sengaja disamarkan, daripada di-pasal 27 ayat 3 UU ITE-kan).
Kedatangan kami rupanya membuat murka Pak Polisi. Apalagi, pemilik mobil masih mempertahankan volumenya pada kisaran 100 dB mempertanyakan kesalahan kami sehingga diberhentikan. Kami dihardik menjauh, sehingga yang berurusan hanya pengemudi.
Kata polisi, pelanggaran kami karena lampu kiri mati. Kami pun mengamini, karena memang lampunya mati sejak keluar dari Lumajang. Tapi, sejatinya tidak mati-mati amat, sebab lampu kota yang menyatu dengan lampu utama, masih menyala. Kami memang nekad melanjutkan perjalanan dengan keyakinan, meski lampu utama mati, lampu kota masih memberi petunjuk jelas kepada pengemudi yang berlawanan arah dengan kami, bahwa mobil yang kami kendarai masih pakai lampu memadai. Tidak gelap-gelapan sehingga membahayakan pengguna jalan yang lain.
Lalu, saya pun meminta kejelasan kepada Pak Polisi yang menghentikan perjalanan kami. Di mana letak salah kami, apakah dengan kondisi demikian kami harus menginap, tidur di pinggir jalan sementara kami harus segera sampai Solo karena masih punya beberapa kewajiban pekerjaan. Polisi itu tetap tak mau tahu. Dia bilang, lampu mati kami menjadi sumber kesalahan sehingga secara sepihak disangka melanggar UU no, 22/2009 tentang Lalu Lintas pasal 285 ayat 2.
Yang seru, gegeran kami dengan polisi bergeser. Pak Polisi yang menghentikan kami (selanjutnya disebut Polisi I) pun membangunkan rekan sepatrolinya yang rupanya sedang tertidur pula. Sebut saja Polisi II. Rupanya, Polisi I merasa kewalahan menghadapi kami berempat, yang meminta kejelasan di mana letak kesalahan kami. Pertanyaan kami tak digubris. Polisi I dan Polisi II telanjur murka. Saya yang diam-diam memotret plat nomor mobil patroli mereka pun kena damprat. Dia meminta saya menghapus foto. "Buka galerinya, hapus!" kata Polisi I. (Rupanya, Polisi I bukan polisi gaptek. Jangan-jangan, gadget-nya mahal harganya. hehehe...)
Ya sudah. Saya turuti perintahnya, menghapus foto.
Ini lho, lampu yang disoal, dibilang mati lalu dijatuhi pasal pelanggaran.
Sementara saya dan pengemudi menghadapi Polisi I, Polisi II marah-marah menghardik dua teman saya. Sang pemilik mobil dituduh menantang sehingga ia meradang. Teman satunya, yang memakai udheng, ikat kepala khas Banyuwangi, juga dihardik meski hanya diam dan senyam-senyum sambil bersedekap. Kata Polisi II, "Kamu dari perguruan mana? Apa ilmumu?" Teman ber-udheng tak menjawab, hanya menatap wajah Polisi II sembari senyam-senyum.
Aha! Polisi II naik darah. Dia menghardik dengan kalimat kasar. "Kalian nantang, ya? Kalian siapa? Sudah, sekarang bukan urusan lalu lintas lagi. Buka pintunya! Kalian bawa apa?"