Pak Badina, akhirnya pindah ke rumah dinas yang berada disamping puskesmas. Anak dan isterinya menyusul ke kampung transmigrasi tersebut. Pak Badrun, meminjamkan rumah dinas Mantri kepada pak guru baru.
Pak Mantri Eko, kalau datang kekampung transmigrasi, tidurnya, numpang dirumah Babinsa, yang biasa dipanggil Pakde Gendon. Gendon panggilan anak Babinsa, yang nama sebenarnya Putra. Karena kebiasaan, anak tersebut menggelayut dipunggung Pakde Sadino, bu Bidan memanggil anak tersebut "gendon".
Hingga panggilan, pemberian bu Bidan Nurhasanah, menjadi lengket pada anak tersebut dan juga bapaknya dengan sebutan gendon.
"Kok aneh ya, Pak Babinsa, dipanggil Pakde Gendon, Ibu Gendon, dan Si Gendon?." tanya Pak Rohmat, dengan ekspresi geli.
"Bu Bidan yang kasih gelar Pak guru, anak itukan bulat, kalau turun dari jalan berbukit kecil, sambil menangis tak mengenakan pakaian, berlari mengejar bapaknya, yang menuju sumur, dibelakang tempat bersalin, yang ada didepan kita." Kata Pak Deny menunjuk, sebuah rumah kayu yang berada didepan mereka.
Udara disinikan sangat panas, dan gersang. Gendon, tidak tahan mengenakan baju dan celana. Dimalam hari saja, Pakde Sadino, sambil mengipasi anaknya, sambil mengalunkan tembang jawa. Sampai bocah kecil itu, tertidur dikaki bapaknya.
keduanya asik mengobrol diteras rumah. Sambil menikmati secangkir kopi hitam. Pak Guru Rohmat tinggal sendiri dirumah dinas kopel transmigrasi dan bertetangga dengan Pak Deny penyuluh lapangan keluarga berencana (PLKB).
"Kumaha Pak Guru, betah di dieu?." tanya Pak Deny dengan Sunda.
"Apa artinya itu Pak Den?."
"Maap Pak Guru, saya lupa, kalau Pak guru, bukan orang Sunda." ucap Pak Deny sambil tertawa kecil.