Prolog
Kami adalah orang-orang yang tersembunyi dari keramaian. Berteman pekatnya malam, ditemani lentera minyak tanah, berliuk-liuk, menghibur kesunyian dari bilik di tanah rantau.
Tahun kedua, Nurhasanah, menjalankan tugas negara sebagai bidan desa, dipemukiman transmigrasi. Kampung ini, bertanah gersang dan berbatu. Sebuah anak sungai, membelah kampung transmigrasi tersebut menjadi dua.
Airnya akan mengalir dari hulu kehilir di saat musim hujan. Dan kering kerontang, bila musim kemarau. Untuk kebutuhan air bersih, selain anak sungai, warga kampung menadah air hujan.
Nurhasanah, tidak sendiri di kampung transmigrasi ini sebagai petugas negara. Ada Pak Mantri Eko, sebagai Kepala puskesmas di kampung tersebut, rekannya satu profesi sebagai tenaga kesehatan.
Selain itu Babinsa, Pak Sadino yang tinggal bersama keluarga di rumah kopel, bersebelahan dengan Nurhasanah. Setidaknya, bidan Nurhasanah, merasa aman dan nyaman bertetangga dengan seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa).
Tidak jauh dari rumahnya, dibalik bukit kecil, Ada pak guru yang baru saja ditugaskan dikampung tersebut, berasal dari Kota Samarinda dan di kota tanjung redeb.
Dan ada Pak Deni, seorang penyuluh Keluarga berencana (KB), yang berperawakan cungkring, dan menjadi mitra Nurhasanah sebagai tenaga kesehatan.
***
"Tok-tok-tok!, Assalamualaikum, selamat sore bu Bidan!."
"Walaikum salam." terdengar suara dari dalam rumah.