Bersyukurlah, bisa bangun dipagi hari, duduk diteras rumah, berteman gemerimis hujan, yang turun membasahi bumi. Secangkir kopi hangat di pagi hari, beberapa potong singkong goreng, terletak di meja kayu, di samping radio tua.
Berapa banyak, orang yang sudah tidak bisa lagi menikmati secangkir kopi hangat di pagi hari, karena penyakit gula, yang menghampirinya. Singkong gorengpun, sudah tiada guna. Radio pun tidak bisa di dengarkan lagi.
Sibuknya, rutinitas kerja, untuk memegang volume radio pun tak sempat lagi. Radio tua pun, peninggalan zaman dulu, sudah penuh dengan debu.
Radio, dulu disebut kotak ajaib, yang mengeluarkan suara, bisa dinikmati siapapun tanpa kasta. Dinanti-nanti, sandiwara radio, Tutur Tinular, Saur Sepuh, Misteri Nini pelet, Misteri dari gunung merapi, Mahkota Mayangkara, Babad tanah leluhur dan Kaca benggala.
Bahkan bagi anak, radio kecil di hari minggu, yang menayangkan Sandiwara radio Sanggar kecil, menjadi teman setia di hari libur.
Radio dulu, dengan radio sekarang sudah berbeda. Radio dulu, berbentuk kotak, ada berbahan kayu, dan berbahan plastik. Namun, radio sekarang menjelma, menjadi sebuah aplikasi di handphone, di tablet, bahkan di dalam laptop. Berada di mobil-mobil, berbentuk digital, apakah ini inkarnasi sebuah radio?.
Tentu saja tidak, radio tetaplah radio. Radio kayu, sudah terpajang dimuseum-museum, atau berada di tangan kolektor barang antik. radio berbahan plastik pun masih ada di jual, merek legendaris pun masih bisa di temukan, seperti Panasonic, internasional, nasional, juga merek Tens.
***
Bulan Juli sudah berubah menjadi Agustus, ada sejarah tersimpan dibulan ini. Dari radio bekas, yang diberikan chairil Anwar kepada Sjahrir, dari siaran BBC London dan Voice of america (VOA) diketahui bila Jepang sudah tak berkutik dengan sekutu, karena kota nagasaki baru saja di bom.
Di radiolah, proklamasi kemerdekaan Indonesia, di siarkan dan diwartakan keseluruh dunia. Kata Bung karno, "JAS MERAH", jangan lupakan sejarah. Radio merupakan bagian dari sejarah.