KM Teratai, Maret 1997
Setelah sekian lama menunggu, hampir kurang lebih setahun setelah mengikuti test cpns mengisi formasi daerah transmigrasi di kabupaten berau. Akhirnya, SK penugasan dan nota dinas terbit juga, rasa senang, gembira, campur aduk tak karuan. didepan mata, hari-hari jauh dari kampung halaman akan menjadi keseharian.
Tapi pilihan sudah dijatuhkan, bisa saja aku memilih tempat untuk jadi guru yang lebih dekat dengan kampung kelahiran, namun dari segi peluang kesempatan lulus sangat kecil. Karena harus bersaing dengan kaka tingkat, yang juga sama-sama mengikuti tes pengangkatan sebagai CPNS.
Untuk bisa mengikuti tes waktu itupun di bulan maret 1997, memerlukan perjuangan yang cukup berat. Berangkat dari Samarinda, menggunakan KM. Teratai yang terbuat dari kayu, dan berlayar ditengah lautan selama sehari semalam sungguh suatu pengalaman yang sangat menegangkan. Apalagi ini pengalaman pertama kali berlayar dilautan luas yang tak bertepi, dengan gelombang laut yang bisa mencapai 2 meter ketika berada di tanjung mangkaliat yang terkenal dengan keganasan dan ketinggian ombaknya.
Kapal ketika berada di sana, seperti digulung-gulung ombak, terombang ambing ditengah lautan. Bahkan terkadang mesinnya mati, terbawa ombak. Dan lampu kapal yang bersumber dari mesin kapal pun ikut mati menambah ketegangan semua penumpang kapal. Bahkan ketika aku berada didek kapal lantai satu, hantaman air ombak bahkan masuk kedalam lantai kapal.
Ketika awal berangkat, beberapa dari kami yang bahkan tidak mendapatkan tempat tidur, karena tiket yang dipesankan oleh seorang teman dari travel adalah tiket ekonomi yang fasilitasnya tidak mendapatkan ranjang dan kasur. Penumpang ekonomi tidur bebas diemper dek kapal, dipinggir ataupun disudut kapal. Dimana ada tempat kosong, disela-sela ruang dek kapal, disitulah duduk.
Aku sendiri sangat kecewa, kesal, dengan tiket kelas ekonomi yang dipesankan teman. Kita yang berada di KM teratai ini betul-betul mengalami sengsara, tidak bisa berbaring dengan nyaman, persis seperti tunawisma didalam kapal, berjalan kesana kemari menghindari guncangan gelombang, yang dihempas oleh ombak, yang masuk kesela-sela lantai dek kapal. Untungnya barang bawaan bisa dititipkan dengan teman yang mempunyai ranjang dan kasur buat tidur.
Mungkin aku dan beberapa teman korban dari calo tiket. Sehingga harus merasakan ketegangan berlayar menggunakan kapal kayu KM. Teratai ini sampai ke ibukota tanjung redeb. Sejak aku kuliah disemester pertama, memang sudah rajin menuliskan cerita hari-hari yang kulalui di buku diary. Sehingga perjalanan hari-hari, bisa suatu saat diceritakan kembali. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H