Yosef Mondo
(Alumnus FKM UNDANA, Tinggal di Kupang)
Dalam perkembangan kehidupan sosial dewasa ini stigma dan diskriminasi selalu terjadi. Stigma dipahami sebagai cara pandang negatif terhadap pribadi dan kelompok sosial tertentu. Karena itu stigma juga merupakan bentuk diskriminasi. Secara lebih spesifik kita jumpai stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Ditilik dari sisi epidemiologi, AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini merusak sistem kekebalan tubuh manusia tanpa terkecuali, termasuk masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT).
Laporan Dinas Kesehatan Provinsi NTT, menyajikan kumulatif kasus HIV/AIDS di NTT sejak tahun 1997 sampai Juni 2013 sebanyak 2.445 kasus. Dari jumlah tersebut, 1.053 terinfeksi HIV, dan 1.392 mengidap AIDS, serta 493 meninggal dunia.Data yang tersaji ini sejatinya hanya sebuah fenomena gunung es, yang jika dilacak lebih jauh masih dijumpai sekian kasus. Sebab, virus ini menyerang kelompok homoseksual, PSK, pengguna narkoba jarum suntik, ibu rumah tangga dan pasangannya, anak-anak melalui transplasenta, dan kelompok lain melalui transfusi darah, jarum tato, dan kelalaian tata cara medis.
Stigma terhadap ODHA merupakan sebuah bentuk diskriminasi sosial. Cara pandang yang keliru, sempit, dan bahkan negatif turut mendiskriminasi para pengidap virus tersebut.Mereka selalu dikaitkan dengan penyakit moralitas. Dan, bahkan bukan rahasia lagi, pengidap HIV/AIDS disangkal dan diusir oleh keluarga sendiri. Ini adalah beban sosial yang akhirnya ditanggung ODHA.
Ada beberapa karakteristik darinya yang perlu dijelaskan berikut ini. Pertama, soal ketidaktahuan. Masyarakat awam bahkan tenaga kesehatan sekalipun, tidak tahu persis cara penularan HIV, sehingga menimbulkan ketakutan tertular jika berada bersama pengidap HIV/AIDS. Akibat ketidaktahuan ini, masyarakat awam menjadi takut bukan hanya terhadap virusnya melainkan juga takut pada pengidap HIV. Perlu dicermati bahwa yang ditakuti adalah HIV bukan pengidap HIV. Virus ini tertular melalui cairan darah akibat penggunaan jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah yang tercemar HIV, cairan sperma dan cairan vagina akibat hubungan seksual berganti-ganti pasangan, dan air susu ibu terkena HIV kepada bayinya. HIV tidak menular melalui ciuman (air liur), sentuhan (keringat), memakai peralatan makan bersama, renang bersama, gigitan nyamuk atau serangga lain, bahkan tinggal serumah dengan ODHA.
Kedua, lemahnya implementasi Perda. Perlu dicermati dengan cerdas Perda Prov. NTT Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan AIDS. Sengatnya Perda ini seakan hanya pada narasi muatan akademik. Rangkaian kata nan indah menghipnotis pemangku kepentingan. Sebab Perda ini tidak diketahui apalagi diimplementasi. Sekiranya Perda ini disosialisasi secara berkesinambungan dan terus-menerus, diterapkan, ditegakkan dan dikontrol dengan baik. Sebab dengan demikian penghargaan terhadap eksistensi diri dan keterbukaan dalam relasi yang bermartabat antara ODHA dan bukan ODHA dapat berlangsung secara baik.
Ketiga, perilaku ODHA.Ada tiga domain perilaku yang melekat pada individu yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Keterlibatan mereka dalam ranah yang memungkinkan mereka terkena HIV/AIDS membuat mereka terstigma secara sosial. Atas dasar itu, maka kiranya ODHA harus memiliki pengetahuan memadai perihal kompleksitas penyakit dan implikasi lanjut terhadap kesehatan diri dan masyarakat. ODHA pun perlu memiliki sikap berani untuk yakinkan masyarakat bahwa eksistensi dirinya di tengah masyarakat bukanlah hantu mematikan. Dalam dan melalui jaringan ODHA, mereka kiranya perlu bersikap terbuka dalam relasi yang intens terhadap publik.
Bukan satu hal yang buruk apabila semua dimulai dari kelemahan satu dua sisi. Kompleksitas determinan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA perlu disikapi secara sinergis oleh pemerintah, masyarakat, LSM, akademisi dan media berdasarkan tupoksi masing-masing. Stakeholder ini dalam menjalankan peran, kiranya tidak berjalan sendirian melainkan ada kerja sama antara satu dengan yang lain. Semua hal ini tertuju untuk mengeliminasi beban sosial yang ditanggung sepihak oleh ODHA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H