PERAN media massa sudah tak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Media massa memiliki kekuatan jaringan, daya jangkau, dan kepercayaan dari komunitas pembaca yang besar. Kekuatan tersebut membuat mereka "leluasa" untuk membentuk opini publik.
Contoh paling tepat adalah dalam kasus "cicak vs buaya". Dalam kasus tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang direpresentasikan sebagai cicak mendapat dukungan luar biasa dari publik. Sebaliknya, institusi Polri dicitrakan sebagai buaya. Dengan ukuran lebih besar dan superior hendak "memangsa" KPK yang lebih kecil.
Penyebutan cicak untuk KPK dan buaya untuk Polri terus berlangsung dandimanfaatkan media untuk menggambarkan semua "kon ik" KPK dan Polri. Jikacicak vs buaya edisi pertama adalah Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji versus Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, cicak buaya edisi kedua adalah KPK melawan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo.
Tak cukup sampai di situ, drama cicak vs buaya juga ada episode ketiga. Yakni, Wakapolri Komjen Budi Gunawan melawan KPK. Penyebutan istilah yang sama bisa kembali berlangsung jika Polrikembali "berkon ik" dengan lembaga khususpenindakan kasuskasus korupsi tersebut.
Apa yang bisa diambil pelajaran dalam kasus tersebut? Kasus tersebut menunjukkan lemahnya Polri dalam membangun citra dirinya di media. Meski berpartner dengan media massa sejak lama, namun dalam kasus tersebut Polri menjadi pihak yang disudutkan.
Hal ini, salah satunya, karena selama ini hubungan Polri dengan media cenderung "transaksional". Tidak pernah ada ikatan khusus yang dibangun lama dan konsisten. Polri hanya membutuhkan media saat membutuhkan pemberitaan. Begitu juga sebaliknya, media hanya membutuhkan Polri saat butuh berita.
Akibatnya, upaya Polri untuk menghadapi opini yang menyudutkan (counter public opinion) bersifat reaksioner, sementara, instan, dan tidak memiliki efek berkelanjutan. Relasi yang "tidak sehat" tersebut harus diubah. Pendekatan
terhadap media tidak bisa dilakukan terus menerus seperti itu.
Harus ada perubahan.
Apalagi, di era media sosial, interaksi terhadap masyarakat berubah drastis. Pendekatan yang sama tidak bisa terus dilakukan. Begitu juga media massa. Media massa yang dulu sangat kuat dalam membentuk opini kini mendapat tantangan dengan adanya media sosial. Jika media massa membentuk opini, media sosial akan menjadi alternatif bahkan justru jadi opini tandingan.
Karena itu, Bidang Humas Polda Jawa Timur memberikan prioritas besar terhadap media sosial. Namun, paradigma yang sama dalam relasi dengan media massa tak bisa dipertahankan. Harus ada sudut pandang berbeda.