Setelah kebijakan Full Day yang digagas oleh Kemendikbud ditunda oleh Presiden Joko Widodo, ternyata kontroversi terkait kebijakan Kemendikbud juga belum usai. Kali ini kebijakan Kemendikbud yang memberlakukan PPDB Online dengan sistem zonasi dalam rangka penerimaan siswa dalam tahun ajaran 2017/2018 juga ternyata juga menimbulkan kontroversi, karena kemudiaan PPDB Online ini menuai banyak masalah didalam pelaksanaannya, seperti banyaknya masyarakat (orang tua) yang tidak paham tentang tata pelaksanaannya karena memang sosialisanya yang minim dan itu diakui oleh Irjen Kemendikbud dalam salah satu acara talk show disalah satu TV Swasta Nasional bahwa sosialisasi kebanyakan dilakukan melalui website kemendikbud, dan pernyataan ini sekaligus menunjukan betapa sederhananya cara berfikir kemendikbud yang tidak menyadari bahwa tidak semua orang tua /masyarakat melek internet, dan seakan-akan juga ingin menunjukan kemajuan zaman (modrenitas) dengan menjadikan penggunaan internet sebagai barometernya.
Belum lagi karena gangguan server sehingga banyak sekolah yang mengalami kesulitan untuk menginput data para pendaftar, dan itu dialami oleh salah satu sekolah SMK di Tebing Tinggi (Sumatera Utara) yang terpaksa harus memperpanjang masa pendaftaran, dan masalah server juga menjadi alasan penundaan pengumuman hasil PPDBOnline di Prov. Sumatera Utara yang molor dari waktu yang ditentukan dan membuat warga masyarakat yang sedang berpuasa harus rela berbuka puasa disekolah dimana anaknya didaftarkan dalam kondisi yang memprihatinkan.
Masalah tehnis seperti gangguan server seharusnya menjadi pemikiran utama sebelum mmemutuskan kebijakan PPDB Online dan juga tidak semua sekolah memiliki SDM yang cukup untuk menginput data peserta PPDB. Dan seharusnya pengambil kebijakan tidak perlu malu bahwa memang kenyataannya bahwa bangsa dan negara ini belum benar-benar mampu baik dari segi sarana maupun SDMnya untuk menguasai IT, jadi tidak semua kebijakan harus selalu mengandalkan IT. Di DKI Jakarta terjadi polarisasi antara kebijakan kemendikbud dengan Disdik DKI Jakarta, dengan alasan penerimaan siswa yang tidak merata disekolah-sekolah maka Jawa Timur melakukan PPDB Online jilid II, masalah ini juga terkait dengan PPDB Online yang menggunakan sistem zonasi, yang menjadikan aspek kewilayahan menjadi faktor penting bagi peserta didik untuk memilih sekolah tujuannya. Untuk sistem PPDB Online dengan sistem zonasi ini mendapatkan kritikan dari Retno Sulistyawati dalam acara Prime Talk disalh satu TV Swasta Nasional, beliau mengatakan," "kebijakan PPDB yg dilakukan oleh Mentri Pendidikan sebenarnya tujuannya bagus NAMUN seperti biasa kata beliau seringkali kementerian dalam memberlakukan kebijakan tanpa melakukan uji coba dan evaluasi thd kebijakan yg akan diberlakukan sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan masalah.
Seperti dalam pelaksanaan PPDB kali ini dgn kebijakan zonasi yakni berdasarkan wilayah dgn memperhitungkan jarak sekolah dgn kediaman peserta didik menimbulkan persoalan karena tidak semua daerah diJawa dan diluar P. Jawa memiliki kondisi yg sama dalam jumlah sekolah negeri yg ada disetiap kecamatan. Kebijakan pendidikan tidak dapat dilakukan dgn hanya menjadikan DKI Jakarta sebagai barometernya. Karena kondisi pendidikan disetiap daerah berbeda. Dan didalam Berita Sore disalah satu TV Swasta Nasional Kadis Pendidikan Tanggerang berseteru dengan para orang tua terkait dengan sistem zonasi dalam PPDB online yang menyebabkan anak-anak mereka sekalipun memiliki NEM yang tinggi namun tidak dapat diterima disekolah yang diinginkannya.
Dan mungkin hal yang sama juga dialami oleh pejabat-pejabat terkait diprovinsi, maupun dikabupaten/kota yang mendapatkan perlakuan yang sama dari para orang tua yang tidak puas dan kecewa yang bisa jadi juga karena ketidakmengertian mereka terhadap sistim PPDB Online dengan sistem zonasi. Dan menurut keterangan dari pihak kemedikbud melalui Irjen Kemendikbud (10/07) maupun melalui Dirjen Kemendikbud (12/07) bahwa sistem zonasi ini bertujuan al. agar para peserta didik bisa lebih dekat antara jarak sekolah dengan kediamannya,sehingga bisa lebih menghemat ongkos . Disatu sisi benar tapi kalau dilihat dari konteks apa yang diinginkan dalam kebijakan yang digaungkan oleh Bapak Presiden Joko Widodo ini adalah kebijakan anti tesis karena tanpa disadari kebijakan ini justru membuat pesertrarta didik menjadi terkotak-kotak.
Lebih lanjut sistem zonasi ini sebagai usaha untuk memeratakan kesempatan bagi semua sekolah agar menjadi sekolah unggul, tetapi beliau lupa bahwa untuk menjadi sekolah unggul (favorit) memiliki banyak prasyarat yang sayangnya tidak semua sekolah mampu untuk memenuhinya, seperti kemampuan sarana prasarana pendukung proses KBM, kualitas SDM para pengajarnya, kemauan dan kemampuan para orang tua yang tergabung dalam komite sekolah untuk mendukung kebijakan sekolah, serta kualitas yang mumpuni dari seorang kepala sekolah untuk memenej sekolahnya agar menjadi unggul.
Yang memberi predikat unggul (favorit) adalah 'masyarakat' yang melihat dan merasakan bahwa sekolah tersebut mampu mendidik dan mengajar anak-anak mereka menjadi lebih baik yang ditandai dengan banyaknya lulusan dari sekolah tersebut yang masusk PTN dan menjadi orang-orang yang berguna dimasyarakat. Jadi jangan salahkan kalau ada sekolah yang diberi predikat unggul (favorit) dan menjadi tujuan utama banyak siswa untuk bersekolah ditempat tersebut, karena mencari yang terbaik dan menjadi terbaik itu adalah impian bagi semua orang. Jadi So What?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H