Cukup mencengangkan, 15 orang pelajar SMA Negeri 70 Jakarta ketika menjalani pemeriksaan di Markas Polres Merto Jaya Jakarta mengaku bahwa tawuran berdarah tersebut merupakan tradisi yang sudah lama terjadi, saat dilakukan pemeriksaan Senin (1/10/2012).
Bahkan lebih mirisnya, pelajar yang melakukan tawuran berdarah ternyata memilik batas wilayah masing-masing. Dimana antara pelajar SMAN 70 dan SMAN 6 itu dilarang melewati batas-batas yang dilarang. Jika pelajar SMAN 70 melewati batas wilayah SMAN 6, akan dihajar. Begitu juga sebaliknya. Baca (http://m.kompas.com/news/read/2012/10/02/00021380/Tawuran.Jadi.Tradisi..Peran.Alumni.Dipertanyakan--megapolitan)
Tawuran berdarah itu memang telah menjadi suatu tradisi buruk yang tidak patut dicontoh. Ternyata juga, tawuran berdarah didua sekolah besar di Jakarta ini, memang telah terjadi turun temurun . Hal itu bisa dilihat dari pengakuan pelajar saat melakukan pemeriksaan di Markas Polres Metro Jaya, seperti yang diberitakan Kompas.com.
Bahkan pihak penyidik dari Markas Polres Metro Jaya, akan melakukan pengembangkan pertanyaan seputar kemungkinan keterlibatan alumni. Pasalnya, pemahaman negatif tersebut diduga terjadi lantaran adanya bentuk penanaman tradisi kepada siswa-siswa baru. "Tadi ditanyai juga soal peran alumni (oleh penyidik)," kata Ketua Tim Advokasi dari Komite SMA Negeri 70 Suhendra Asido Tarigan di Mapolrestro Jaksel, Senin (1/10/2012) malam. (Kompas.com)
"Ketika ke-15 pelajar itu ditanya kapan mereka mengetahui batas-batas wilayah dan musuh yang sudah menjadi tradisi. Semua pelajar tersebut mengaku tidak tahu secara persis kapan awalnya mereka mendapatkan pemahaman negatif itu," kata Suhendra.
Dilihat dari pengakuan seperti yang diberitakan Kompas.com, bisa dilihat bahwa tawuran berdarah itu merupakan dendam lama yang sudah bersemi dan membudaya hingga ke pelajar-pelajar lainya. Kemungkinan besar, aktor utamanya adalah alumni dia dua sekolah itu.
Nah dimana peran guru disini! Jika dilihat dari pengakuan pelajar yang diperiksa jajaran kepolisian. Dimana pelajar itu mengaku, tawuran berdarah pelajar ini merupakan tradisi yang sudah lama bersemi. Namun hingga detik ini masih dendam dari pelajar ke pelajar lain.
Seharusnya guru maupun pihak sekolah bisa mengarahkan maupun mengajarkan tidak ada konflik dianatar sekolah tersebut. Para guru SMA Negeri 70 dan SMAN 6 itu harus melakukan musyawarah kemnali, agar setiap mata pelajar yang masuk, bisa menyampaikan untuk tidak berdendam lagi.
Apalagi tawuran berdarah itu ketika pelajar tersebut masih menggunakan seragam sekolah. Yang masih menjadi tanggungjawab pihak sekolah. Sekolah disini adalah kunci utama dari persoalan ini. Sekolahnya harus bertanggungjawan, jika dilihat dari pengakuan para pelajar saat diperiksan penyidik Polres Metro Jaya.
Semoga, walaupun sudah ada yang meninggal dunia, Konflik berdarah dua SMA ini, bisa menjadi pelajar berharga bagi sekolah tersebut dan sekolah-sekolah lain di seluruh tanah air ini. Ketika dunia pendidikan yang karut marut ini, masih saja pendidikan ini dihadapan dengan persoalan sepele itu. Jangan ada lagi konflik antara pelajar. Jika dilihat dari tawuran itu, tidak ada pihak yang diuntungkan. Bahkan kedua belah pihak dirugikan. Tidak ada yang menang, yang kalah dalam tawuran itu.
Pihak kepolisian Metro Jaya diharapkan bisa menggungkapkan tawuran tersebut agar konflik antar pelajar tidak terjadi lagi ditanah air ini. Dan tidak ada pihak yang dirugikan.