Lihat ke Halaman Asli

Secercah Harap..

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash



Somewhere over the rainbow  [1]way up high,

There's a land that I heard of once in a lullaby.

Somewhere over the rainbow, skies are blue,

And the dreams that you dare to dream really do come true.


Someday I'll wish upon a star
And wake up where the clouds are far behind me.
Where troubles melt like lemon drops
Away above the chimney tops, that's where you'll find me.



Somewhere over the rainbow bluebirds fly.

Birds fly over the rainbow, why then, oh why can't I ?

If happy little bluebirds fly beyond the rainbow..  why, oh why can't I ?

SAYUP-SAYUP, lantunan lagu tema The Wizard of Oz, lagu penutup siarandari radio “teman ronda” itu,  makin meredup hingga akhirnya sunyi belaka melulu di gendang telinga Daud.  Hanya bunyi degup jantungnya sendiri saja yang kini mengisi keheningan suasana..

Bulan kini telah melintasi separuh langit, suasana bebunyian di sekeliling Daud pun sudah senyap, kecuali manusia-manusia di jalan raya yang entah mengapa seperti tidak mau beristirahat. Namun Daud, ia masih duduk tepekur di pos ronda, memegang secangkir kopi, yang kini sudah dingin, dengan tatapan kosong.

“Dasar lagu.. semuanya serba indah, “ gerutunya dalam pikirnya, “Gua juga mau nyeberang pelangi kalo emang disono semua impian gua jadi kenyataan..”

Tersadar juga ia akhirnya tengah memegangi gelas kopi dingin. Dihirupnya sedikit, lalu diletakkan. Lalu ia menekan tombol off radionya sambil menghela napas panjang.

Pikirannya kini menuju pada wajah mungil Titi, putri sulungnya. Sudah beberapa hari ini ia menangis ingin sekolah lagi. Kembali Daud menghela napas mengingat sudah hampir dua minggu Titi “dirumahkan” oleh pihak sekolah karena sudah empat bulan menunggak uang sekolah. Dan Titi  jelas sangat merasa cemas, sebab ia kini sudah kelas 6 SD, sedang Ujian Akhir  SD itu kan tinggal 2 bulan lagi.. Daud bukannya ingin Titi tidak sekolah, tapi sejak ia keluar dari pekerjaannya hampir 3 bulan lalu, hampir-hampir ia tidak punya penghasilan selain dari upah meronda dan mengojek yang hasilnya tidak seberapa. Hasil itu hanya habis untuk makan mereka sekeluarga, Daud, Layla istrinya, Titi, dan Amri. Kalau untuk sekolah, terpaksa Titi dan Amri harus libur dulu.

“Liburan dari Hong Kong..!” Daud menggerutu dan terkekeh sendiri mendengar leluconnya. Getir.

Kini ia mengetuk-etuk dinding pondok ronda dengan buku jari telunjuknya cukup keras. Cukup keras untuk mewakili kegeramannya,  “Kagak habis pikir deh gua, kalo emang Yayasan ngediriin sekolahan buat amal, buat ngebina masyarakat katanya, kok malahan ngelarang-larang sekolah anak yang ngga mampu ngelunasin uang sekolahan..!?”

“Kalau tidak begitu, semua orang mau masukin anaknya ke sekolah ini dengan gratis, Pak Daud.. Lalu bagaimana kita bisa jaga mutu..?” begitu kata Pak Wakil Kepala Sekolah waktu itu.

Jaga mutu ke laut !  Sekali lagi Daud menggerutu dalam hati, “Kalo kayak gitu, ngapain juga pake nyombong Yayasan Amal ini itu begini begitu..!?”

Lalu ia jadi teringat angka yang harus dilunasinya. Seratus enam puluh ribu rupiah..! Dua puluh ribu rupiah sebulan kali dua anak kali empat bulan pembayaran ! Itulah jumlah yang harus dilunasinya..

“Tapi dari mana gua bisa dapet duit seratus enam puluh ribu..? Sedang ngojek sehari-hari aja paling banter cuman sepuluh ribu bersihnya, potong bensin..”

Daud menguap.

“Siapa yang butuh tenaga gua  yah ? HalahTapinya gua juga kagak bisa apa-apaan, nah orang ngangkat karung beras sekali doang ajah langsung encok..”

“Apa gua dagang aja kali yah.. “ masih pikirnya di sela-sela minum kopi penahan kantuk.

“Tapi apa yang gua mau jual yak ? Jual diri.. ?! Belon lagi, modalnya ntar dari mana..?”

Daud mengeluh pelan, “Halah ! Masa iya gua kudu nyopet, sih ?”

...



PADA saat yang sama, seorang penghuni rumah mewah di ujung jalan juga tidak bisa tidur. Bapak Sartono yang terhormat, pejabat cukup tinggi yang lumayan “sukses”, tidak bisa tidur. Hanya bisa duduk termangu di sisi istrinya yang tidur mendengkur pelan.

“Tukang ronda sialan..  Tengah malam seperti ini nyetel lagu keras-keras..” gerutunya sambil mengibas kepanasan di tengah ruangan ber-AC, “..tapi lagunya enak juga..”

Ingatannya kini membawanya ke wajah anak-anaknya yang tengah melanjutkan studi di Amerika Serikat. Ia mengenang suatu masa dimana mereka, Sartono, Hartini istrinya, juga si kembar Adi dan Ani, berkumpul bersama-sama. Menghela napas panjang, Sartono menyadari bahwa masa itu sepertinya terjadi sudah sangat lama. Yang ada saat ini, anak-anaknya tidak bisa akur dengannya dan istri. Ani, saat ini lebih suka
berbelanja baju, tidak buat dijual melainkan untuk dipakai sendiri, daripada menyelesaikan thesis-nya; sedang Adi, Sartono kembali mengeluh, ia masih harus membiayai persalinan Maya, putri koleganya yang dihamili Adi, sedang Adi sendiri kemarin malah meminta sejumlah uang untuk membeli condo di sana.

Sartono mengeluh, “Kenapa yah hidupku susah sekali..?! Rasanya uangku ngga pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan istri dan si kembar itu..”

Mendadak Sartono seperti teringat sesuatu, “Eh.. dan tentu saja ngga cukup buat memenui kebutuhan TTM-an ku yang satu itu..”

Sekali lagi Sartono menghela napas panjang, “TTM sialan ! Bagaimana bisa dia menghabiskan pagu kartu kredit sampai puluhan juta hanya dalam waktu sebulan ? Sedang bulan lalu pun kejadiannya persis begini..” Sartono memukul-mukul kepalanya pening.

“Dengan gaji asliku,  dan dengan masalah kartu kredit dan semua permintaan uang Adi dan Ani itu, bagaimana aku bisa mendapatkan uang seratus juta dalam waktu beberapa hari ?”

Sartono menepuk dahinya, “Kalau tidak segera dilunasi, sekali Hartini menggesek kartunya dan dinyatakan tidak valid, pasti dia langsung bisa menebak aku belum berpisah dari TTM-an ku.. Bisa perang dunia lagi di rumah !”

Sartono kembali menghela napas mengingat beberapa waktu lalu ketika Hartini memergokinya berduaan dengan si TTM di sebuah mall.

Ingatannya kini melayang pada seorang pengusaha yang mengiming-imingi uang lebih dari kebutuhannya sekarang bila proyeknya di-gol-kan.

“Masa aku harus pakai cara ini lagi sih ?! Aku kok jadi terbelenggu oleh keadaanku sendiri begini, sih ?!”  Sartono mengeluh pelan.

...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline