Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Media Sekarang "Mandul"?

Diperbarui: 3 Januari 2017   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Entah kenapa belakangan ini saya merasa banyak media mainstream Indonesia sudah "Mandul" menyajikan informasi yang berimbang dan kritis. Dalam menyikapi suatu kondisi, banyak media yang mencoba membentuk opini pembaca sesuai dengan tujuan tertentu. Entah itu perasaan saya saja, atau memang ada arahan untuk itu.

Seingat saya, dulu media begitu kejam mengkritik pemerintah dan lembaga Negara. Berbagai sisi dikupas dengan teliti, dan sangat tajam dalam pemilihan kata dan judul. Bisa panas kuping para pejabat dibuat oleh pemberitaan media, dan mayoritas sikap mereka kritis.

Namun, belakangan ini saya menilai ada yang aneh dengan tujuan dan integritas media sebagai corong informasi yang seharusnya adil dan netral. Dalam menyikapi suatu kondisi dan persoalan, seperti ada yang membatasi ruang gerak para jurnalis dalam menghasilkan karya jurnalistik.

Bukan semua media seperti itu, tapi mayoritas saya menilainya seperti itu. Saya mengambil contoh, saat kasus Ahok mulai dilaporkan hingga terjadi aksi massa pada tanggal 14 Oktober. Ada yang aneh pada tanggal 15 Oktober, berita mayoritas yang lebih ramai adalah tentang kerusakan taman, bukan tentang isi tuntutan dan bagaimana pihak berwajib menindak lanjuti kasus tersebut.

Beberapa hari setelah itu malah muncul pemberitaan secara masih tentang Kebhinnekaan yang terancam. Aneh saya membacanya, apa dasar yang membuat media menyimpulkan Kebhinnekaan terancam, dan begitu juga dengan ancaman terhadap NKRI. Karena ada rakyat yang meminta proses hukum ditegakkan, dianggap mengancam NKRI.

Apakah karena Ahok yang berasal dari minoritas dilaporkan melanggar UU, dianggap sebagai ancaman terhadap Kebhinnekaan. Bukankah semua orang sama dimata hukum, sama seperti ibu rumah tangga di Bali yang dipidana karena terkait kasus penistaan Agama juga.

Secara serentak judul dan isi berita tentang bahaya Kebhinnekaan diproduksi secara masif dan serentak. Banyak tokoh diminta bicara, dan dibuat seolah-olah tuntutan terhadap pengusutan kasus Ahok merupakan bahaya untuk toleransi Indonesia. Aneh menurut saya, sulit sekali membayangkan itu muncul dengan secara alamiah tanpa ada settingan seseorang atau kelompok tertentu.

Selama hampir dua Minggu, media tidak ada yang mengejar statemen Presiden Jokowi terkait tuntutan tersebut. Jika dulu Presiden mengelak, maka media akan secara serentak menyerang dengan kalimat terlambat lah, tidak sensitif, tidak mendengarkan aspirasi. Tapi saat Jokowi tidak bicara apa-apa sampai aksi 411, media tidak nyinyir dan mengejar hal itu.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan media mainstream saat ini, itu pertanyaan yang muncul dalam kepala saya. Saat aksi 411 menghadirkan ratusan ribu orang, media mulai sedikit terbuka dan mengupas tentang apa yang dituntut oleh para penuntut keadilan.

Entah karena tidak mampu lagi menahan desakan untuk membuat berita tentang aspirasi atau memang sudah tidak lagi dilarang, media mulai mengupas tentang isi tuntutan. Namun, tidak ada juga yang berani nyentil keterlambatan Jokowi dalam mengantisipasi kemungkinan tersebut. Entah karena apa media jadi pemalu dalam mengkritik sekarang.

Saya coba menelusuri beberapa informasi tentang kepemilikan media. Ada hal yang membuat saya geleng-geleng kepala, karena banyak media yang pemiliknya mempunyai kedekatan baik secara politik, pertemanan ataupun kedekatan lainnya dengan Pemerintah, khususnya Jokowi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline