Lihat ke Halaman Asli

Dia

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lilin kecil tetap menyala di atas meja, sekuntum mawar merah berdiri tegak di atas vas kaca berisi air. Segelas kopi mochacino menemaninya. Resah dan gelisah matanya selalu memandang perputaran jarum jam yang tak mau berhenti. Gaun mewahnya hanya di kenakan tatkala menyambut orang yang ia sukai. Bahkan ia hanya memoles wakahnya untuk orang spesial dalam hidupnya.
Tepat pukul 21.00 WIB, sesuai dengan janji, hujan turun sangat lebat di luar kedai. Membuat hatinya semakin menciut, hingga pikiranya kalut. Penantianya, akankah sia-sia seperti tahun kemarin dengan orang yang berbeda. Valentine 2012 adalah falentine terburuk dalam hidupnya. Rasa marahnya sangat menyelimuti dirinya tatkala lelaki yang ia puja dan tunggu, pergi dengan wanita lain di meja berjarak beberapa baris. Tamparan keras mendarat pada pipi hidung belang.
“Plak.”
Benaknya tak mau mengingat-ingat peristiwa kelam itu, berkali-kali jari-jemarinya menekan nomer yang sama di handphonenya, berkali-kali suara yang didengarnya. Semakin membuat parah keadaan. Teguk demi tegukan kopi tak menennagkanya, bahkan alunan musik nan romantis hanya membuatnya kesal. Gesekan antar senar biolah, seolah pisau pengiris hatinya, melodi gitar dan piano bagai ironi kelam. Dan dentuman drum semakin menjedotkan kepalanya pada titik hitam.
“Akankah terulang kembali.” Matanya berlabuh pada jam dinding. “Tolong aku Tuhan, aku tak mau masuk kedua lubang yang sama.” Ia merunduk. “Semoga saja tidak terjadi. Amin.”
Hujan belum juga reda, sedangkan secangkir kopi mochacino menghilang, hanya gelas beningdengan sisa cairan berwarna coklat kental. Pemandangan sekitar nan romance, beberapa pasang sejoli merajut asmara, pembuat hati muak. Derap kakinya meninggalkan kedai kopi, dengan penyesalan yang tertinggal di meja 22 pojok dekat jendela. Taxi menghantarkanya menuju bangunan bertingkat tinggi milik beberapa kaum elit nan hidonis.
Gaun kesayanganya tak bisa menghiburnya, make up sempurnya terhapus air mata, hanya pancuran air hangat dari sower yang mendekapnya lembut. Valentin, mungkin hari terkutuk baginya. Setiap detik malam falentin dua tahun terakir tak pernah air matanya tidak memeleh, bagai lilin-lilin kecil penghias meja. Akan melelh tersumut api. Api kekesalan cinta. Pikirnya, semakin mengutuk cinta. Cinta dan lelaki!.
“Semua sama, semua buaya.” Pisaknya semakin keras. “Apa kau tak tahu perjuanganku?. Apa kau tak tahu perasaanku?”
Selimut hangat kamarnya mendekapnya, menemaninya untuk melewati malam falentin nan sepi. Hingga fajar menjelang, sorot sinar mentari merambat pelan memasuki pori-pori ruang apartemenya. Menyoleknya, mengajak untuk bangun dan menapaki hidup kembali.
“Kesal...” Matanya terpejam kembali. “Aku pingin tidur dan tidur, hingga pangeran datang mengecupku.”
Tidurnya sangat pulas, bahkan telefon berderingpun tak memecahkan matanya, perlahan ia beranjak dari tempat tidurnya, menatap senja yang cukup buruk dari jendela apartemenya. “Senja, Malam, Pagi dan Siang.” Badanya di hempaskan kembali pada kasur empuk. “Kapan hidupku berakir di pelaminan?. Apa kurang lama aku jomblo?. Atau memang kriteriaku teralalu tinggi?.”
Kaki kecilnya menghantar menuju depan kaca. “Wajar kalau aku mencari lelaki yang perfek. Aku cantik.” Ia tersenyum. “Manis. Dan bodyku sexy profosional. Cowok tampan mana yang tidak mau denganku.” Hiburan terindah adalah memuji dirinya sendiri. Setiap kegagalanya membina rajutan cinta, hanya cerminlah pelampiasanya. Mungkin jika cermin bisa ngomong, pasti dia bosan mendengar bualan yang sangat norak dan cenderung sombong.
Kekesalanya membuatnya merubah prinsipnya, kali ini, berdandan adalah sahabatnya dan mengenakan baju sexsy nan trendi adalah fasionya. Tak lupa sepatu dengan hak tinggi adalah alas yang paling cocok untuk kaki mungilnya yang cantik. Bahkan kini ia tak cangung untuk mengumbar perhatian pada setiap mata lelaki. Easy going dan ramah, lebih tepatnya menebar harapan.
Setiap lelaki yang ingin mendekatinya, ia ladeni; membalas sms, bbm, what app, line, wechat, mention twitter, bahkan chating facebook. Hari-harinya ia sibukkan berkutat denganHandphonenya. Mungkin ia beranjak untuk membersihkan mukanya, memakai cream pagi, malam, mengolesi lotion pada tubuhnya. Senam YOGA.
Kehidupan monotonya tak membuat ia bosan, jika penat melandanya, ia selvy, hasil fotonya di pasang di beberapa jejarangi sosial.Tersenyum-senyum sendiri ketika beberapa lelaki mengomentari dan menyukainya. Anehnya, dari beberapa kenalanya, belum ada satupun yang mengajaknya kencan, bahkan mengutarakan perasaan. Hanya kalimat manis bak bisa ular bercampur buaya yang selalu membumbungnya. Mereka datang hanya untuk sekedar chat bahkan melepaskan kepenatan, dan Dia menagapi serius.
***
Ketukan pintu penyambut paginya yang cantik. Sahabatnya dengan ramah mengetuk pintunya, perlahan tapak kaki menuju pintu penghubung dunia luar dan dalam. Muka natural tanpa polesan make up.
“Tunggu sebenatar.” Sambil merapikan rambutnya ia mendekati pintu.
Perlahan pintu di buka, dan sepasang dua bola mata saling menatap.
“Tesya?.” Ia bengong.
“Aaaaaaaaaaa.” Seketika ia berteriak dan memeluk sahabatnya.
“Coba aku tebak.” Matanya menyelidik sahabatnya. “Ada apa gerangan datang kemari?.”
Kedua tangan sahabatnya bersimpul di belakang. Sengaja di sembunyikan. “Coba tebak?.” Senyum sahabatnya membuat ia semakin kepo dan ingin mencari tahu.
“Kamu kangen kan dengan aku yang cantik ini?.” Dengan gaya centilnya ia berseringai.
“Itu jelas, tapi lebih ada yang penting.”
“Hah.” Bengong. “Lebih-ada-yang penting?.”
Sahabatnya mengangguk
“Atau kamu mau meminjam uang?. Curhat galau-galauan gara-gara di putus pacar?. Atau kamu depresi akibat negjomblo.” Suaranya lirih, mirip dengan berbisik.
“Ngancau.” Muka sebal tergurat di wajah sahabatanya. Perahan berubah seiringan dengan gerakan tanganya yang menujukkan undangan pernikahan. “Thara.... Pernikahan suci antara Tesya dan Wiliam.”
Entah mengapa, waktu bagi Dia berhenti, ia hanya merasakan hebusan angin yang perlahan berhenbus pelan menjama lehernya dan membasuh pipinya, dan telinganya hanya bisa mendengar detakan jantungnya yang semakin keras. Pandanganya buram, bahkan hitam hanya melihat sahabatnya bergerak-gerak aneh bagai anak kecil yang menerima mainan baru.
“Kamu pasti senangkan sahabatmu akan menikah, kapan kamu menyusul?.”
Dia masih bengong.
Senyum sahabatnya mubadzir, sahabtanya mengakhirinya. “Di....” Layaknya berhadapan dnegan patung, tak ada respon sama sekali. “Dia...... Jawab dong?.” Hanya mematung.
“Dia!.” Sahabatnya berteriak tepat di kupingnya.
“Aghtttt.” Dengan cepat Dia menutup kupingnya. “Sakit tau!.”
“Habisnya kamu bengong sih.” Sahabatnya tersenyum kembali. “Bagaimana?. Beri ucapan selamat dong.”
“Wi-li-am?.” Ia berdesis. “Wiliam Notokusuma Pratama.” Tatapanya kosong, mulutnya mengucap.
“Ia.” Tiba-tiba sahabatnya berhenti tersenyum. “Tunggu-tunggu, kok kamu tahu?. Akukan belum mengenalkannya padamu?.”
“Anak pengusaha kaya raya dari keluarga Notokusuma Pratama, dan kini ia mungkin sudah menyelesaikan S3nya di University College London. Sedangkan S2nya di Massachusetts Institute Technology dan University of OXFORD. Sedangkan S1nya di Indoneisa, kalau nggak salah....”
“Tunggu-tunggu.” Sahabatnya menyelidik Dia. “Kenapa kamu lebih tahu tentangnya daripada aku, setahuku hanya, ia profesor dan guru besar muda di kampusku dulu. Tapi kenapa kamu lebih....”
“Aku ngefans.” Seketika kalimat itu terucap tanpa ada jalur pemikiran terlebih dahulu. “Ia aku ngefans sama beliau. Pintar, energik, dan yang jelas beliau mengajariku banyak ilmu, salah satunya ketulusan.”
“What?.” Sahabatnya kaget. “Ketulusan?.”
“Em.... Maksutku ketulusan dalam mencari ilmu, ya bisa di bilang kita harus meniatkan kuliah itu untuk mencari Ilmu bukan nilai atau apaun yang bisa menganggu konsentrasi belajar kita.”
“Syukurlah.” Sahabatnya bernafas lega.
“Tenang jangan khawatir, beliau orangnya baik dan ramah. Cocok untuk sahabatku yang paling baik sedunia.” Senyumnya palsu, mencoba menghibur sahabatnya.
“Ku pikir, kalian pernah berhubungan, secara kamukan cewek tercantik dan termodis di kampus.”
“Ah ngaco.” Kedua tanganya mendekap Tesya. “Manamungkin aku menyakiti sahabatku sendiri. Lagian cocoknya denganmu, kamu pintar, baik dan rama sama sepertinya.”
“Aku seneng banget. Tapi aku akan kecewa jika di hari spesialku kamu tidak hadir.”
Dia hanya tersenyum.
Sepulangnya sahabatanya, perasaanya semakin bergejolak, alasan yang di tunggu-tunggu kini di ketahuinya. Kenapa di hari falentine, hanya ada lilin-lilin dan setangkai bunga mawar yang menemaninya, apa lagi hanya secangkir kopi mochacino yang mengahangatkanya.
“Semua sudah jelas.”
Dalam bias kaca, air matanya tersapu membasuh pipinya. “Kenapa harus sahabatku?. Seharunya kau bilang semua itu terlebih dahulu.”
“Jadi cewek itu susah, mengihlaskan orang yang di cintainya untuk berlabuh dengan sahabatnya bagai mengiris durian dengan sebilah pisau. Aku kan terluka, dan kau akan tersenyum dengan sahabatku.” Ia semakin meratap.
Seketika aktifitasnya berubah tiga ratus enampuluh derajat. Ia lebih memilih untuk mengurung diri di kamar, mendengarkan musik. Hanya ada satu lagu yang selalu menemani malam sepinya, pagi sayunya siang layunya bahkan senja pedihnya. “Someone like you.”
Nevermind, I’II find someone like you.
I wish nothing but the best for you, too,
Don;t forget me, I beg,
I remember you said,
Sometimes it lasts in love,
But sometimes it hurts insted
Sometimes it lasts in love,
But sometimes it hurt insted, yeah.
Gaun kebangaanya menempel di tubuhnya, sepatu hak tinggi menopang tubuhnya, dan polesan make up meubah wajahnya menjadi lebih cantik. Dengan senyum menawan ia mencoba menarik perhatian tamu undangan, dan dengan suaranya ia mencoba menghibur. Ketegaranya palsu, apalagi senyumnya. Ketulusan pada sahabatnya asli.
“Selamat ya. Kamu harus bahagia Tesya.” Sambil memeluk sahabatnya dan mencium pipi sahabatnya. Pandanganya berlabuh pada mata wiliam. Demi sahabat, ia mengusir benci bahkan semua kekesalanya. “Wiliam Notokusuma Pratama. Kamu harus berjanji padaku untuk menjaga sahabatku yang paling ku sayangi. Dan jangan pernah mengecewakan hati seorang cewek.” Ia menjabat bersahabat. Berpaling meninggalkan mereka berdua dalam malihai pernikahan. Air mata mengiringi langkahnya meninggalkan pesta.
“I’ve got a lot to learn.”
“Thanks god. You’r the only one who can understanding me.”
http://blegohrolis197.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline