Lihat ke Halaman Asli

Blasius Erik Sibarani

Blasius Erik Sibarani adalah seorang mahasiswa di Universitas Negeri Medan jurusan Akuntansi, memiliki hobby menulis, membaca, dan bermain sepakbola.

Bagaimana Wajah Pendidikan Indonesia Selesai Pandemi? Mari Kita Saksikan Bersama

Diperbarui: 29 Maret 2022   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Virus corona telah dipatenkan menjadi bencana nasional sejak Maret lalu oleh Presiden Jokowi melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Doni Monardo. Karenanya, segala sektor kehidupan terdampak langsung sebab corona. Tak terkecuali sektor pendidikan. Transformasi wajah pendidikan berubah begitu cepat dibanding sebelumnya. Saat dimulainya tahun ajaran baru 2020/2021 pada 13 Juli lalu, pembelajaran jarak jauh dengan media daring mulai diberlakukan.  

Sebelum datangnya wabah ini, pembelajaran daring melalui hp android masih tergolong hal tabu ketika diperuntukkan untuk menyelami ilmu setiap harinya. Interaksi guru dan murid secara tatap muka juga merupakan kemutlakan kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas sebelum dunia terpapar virus ini. Namun, wajah pendidikan mulai berubah seiring dengan berubahnya kehidupan di bumi setelah munculnya corona. Dan mau tidak mau, murid Indonesia harus beradaptasi dengan kondisi langka ini.  

Problematika muncul ketika pendidikan karakter yang digembor-gemborkan dalam kurikulum 2013 luntur visi misinya jika terus diberlakukan pembelajaran daring. Aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku tidak akan sempurna terpenuhi di masa mendatang. Nantinya, bonus demografi--potensi pertumbuhan ekonomi yang tercipta akibat perubahan struktur umur penduduk, dimana proporsi usia kerja (15-65 tahun) lebih besar daripada proporsi bukan usia kerja (0-14 tahun dan >65 tahun)--yang datang di Indonesia pada tahun 2030 bukannya menjadi jendela peluang (window of opportunity) dan meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas, justru menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa Indonesia (Adioetimo, Sri Moertiningsih, 2018). Pasalnya, aspek keterampilan, sikap dan perilaku sangat kurang ataupun malah tidak terasah selama pembelajaran jarak jauh. Istilahnya, pembelajaran daring hanya memberikan sistem transfer-knowledge bagi penggunanya. Tidak lebih dari itu.  

Dalam menyiasati risiko tersebut, rumah dan segala kehidupan di dalamnya adalah satu jawabannya. Komponen keluarga yaitu bapak, ibu, kakak, dan adik harus saling menumbuhkan, mengajari, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, mandiri, peduli, empati dan lain sebagainya. Rumah yang 'baik' adalah rumah yang menghidupkan segala moral yang terkandung dalam pancasila. Segala bentuk sikap dan perilaku orangtua adalah

contoh utama bagi anak-anaknya selama belajar di rumah. Perspektif anak akan terbentuk beraneka ragam seiring dengan atmosfer kehidupan di rumah tersebut.  

 Orangtua harus pandai-pandai mengamati dan menyeleksi lingkungan yang digandrungi anak. Selain proses pendidikan orang tua (education parenting) yang memiliki keurgensian tinggi, lingkungan nyata dan maya yang diselami anak sangat berpengaruh dalam membentuk pendidikan karakter.

 Kedua, berasal dari komponen guru. Setidaknya di masa pembelajaran daring, guru tidak hanya memberi pelajaran secara to the point. Di awal pembelajaran baik melalui grup WhatsApp, Google Classroom atau Google meet misalnya, seorang guru bisa memberikan intermezo tentang cerita inspiratif melalui tulisan ataupun video. Tentunya rasa kepedulian atau tidaknya sesorang terlihat dalam menanggapi cerita tersebut. Guru juga bisa memberi kesempatan untuk mengisi kuisioner kepada muridnya tentang tanggapan dalam sebuah cerita. Kepribadian murid dapat tercermin dari jawaban singkatnya jika hal ini dilakukan konsisten. Pada hal ini, Peran guru yang kita 'dipaksa' berinteraksi dengannya karena sebuah kewajiban, membuat guru menjadi seseorang yang berpengaruh dalam keberhasilan belajar kita selama di rumah.

 Di masa yang akan datang, Indonesia pasti bobrok akan moral dan etika pelajar Indonesia jika terus mengandalkan pembelajaran daring. Bonus demografi justru menjadi ancaman dan pendidikan berkualitas yang tercakup dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) pastinya tidak akan berbuah maksimal di tahun 2030. Dalam target SDGs untuk pendidikan bermutu, disebutkan salah satunya mereka yang belajar mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan, termasuk antara lain, melalui pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan dan gaya hidup yang berkelanjutan, HAM dan apresiasi terhadap keberagaman budaya dan kontribusi budaya kepada pembangunan berkelanjutan. Jelas, hal ini tidak akan terjamin jika hanya berbekal pengetahuan saja.  

Apabila hanya menunggu sekolah melaksanakan kembali peran sesungguhnya di awal, tentu wajah pendidikan di tahun 2030 akan bobrok dan semrawut. Kesempatan bonus demografi yang terjadi sekali seumur bangsa menurut Fasli Jalal (Mantan Kepala BKKBN) (Casmudi, 2016) pastinya menjadi sesuatu yang disia-siakan jika tidak dimaksimalkan dengan baik. Karenanya, peran orangtua dan guru dalam mendidik berbudi pekerti luhur, bermoral dan

berkarakter memiliki keurgensian dan peran yang tinggi dalam tepat tidaknya peluang bonus demografi bagi Indonesia dan keberhasilan SDGs dalam salah satu tajuknya yaitu pendidikan bermutu. Transformasi wajah pendidikan Indonesia menjadi lebih buruk saat datangnya tahun 2030 akan terjadi jika kedua hal ini dibiarkan dan dianggap remeh begitu saja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline