Lihat ke Halaman Asli

Blasius P. Purwa Atmaja

Praktisi Pendidikan dan Pembelajar

UKBI Sebagai Sarana Penyaring Dalam Era Global

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sabtu, 25 April 2015 lalu, guru-guru bahasa Indonesia SMP, SMA, dan SMK di Kota Mojokerto mengikuti Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) yang digelar oleh Balai Bahasa Jawa Timur. UKBI tersebut terselenggara berkat kerja sama antara Balai Bahasa Jawa Timur dengan Dinas Pendidikan Kota Mojokerto dan MGMP Bahasa Indonesia SMP, SMA, dan SMK Kota Mojokerto.

Dalam sosialisasi sebelum pelaksanaan UKBI tersebut, Amir Mahmud, Ketua Balai Bahasa Jawa Timur mengemukakan bahwa UKBI ini dilaksanakan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah RI No. 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia.

Masih menurut Amir Mahmud, kalau orang Indonesia akan kuliah atau bekerja di luar negeri, mereka harus mengikuti TOEFL (Test of English as a Foreign Language) terlebih dulu, mengapa orang asing yang akan bekerja dan kulian di Indonesia bebas masuk ke negara kita tanpa saringan. Terlebih lagi memasuki ASEAN Economic Community sekarang ini, persaingan barang dan jasa antarnegara semakin ketat. Apabila kita tidak menyaring secara ketat barang dan jasa yang akan masuk ke Indonesia, sudah pasti kita akan kalah saing. “Jangan-jangan nantinya akan banyak orang jualan sate dan jual cendol yang berasal dari luar negeri,” tambahnya.

Dalam pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.57 tersebut dinyatakan bahwa warga negara asing yang bekerja dan/atau mengikuti pendidikan di Indonesia atau akan menjadi warga negara Indonesia harus memiliki kemampuan berbahasa Indonesia sesuai standar kemahiran berbahasa Indonesia yang dipersyaratkan. Ini akan terlaksana jika ada kerja sama antara Departemen Tenaga Kerja, pihak imigrasi, dan instansi yang mempekerjakan tenaga asing tersebut.

Di dalam menerima tenaga kerja, Departemen Tenaga Kerja dan perusahaan pengguna tenaga kerja harus memprioritaskan penerimaan tenaga kerja Indonesia terlebih dahulu dibanding tenaga kerja asing. Tentu saja dengan tidak mengabaikan faktor profesionalitas. Ketika tenaga kerjaIndonesia tidak ada yang memenuhi syarat, barulah kita menerima tenaga kerja asing dengan persyaratan yang ketat, termasuk di dalamnya tes UKBI.

Di dalam dunia pendidikan pun seharusnya seperti itu. Untuk menerima guru dari luar negeri kita juga harus selektif. Jangan sampai pihak sekolah dengan gegabah serta merta menerima tenaga kerja asing untuk menjadi guru. Jika tidak selektif, bisa-bisa tenaga kerja asing yang bervisa wisata bisa direkrut menjadi tenaga pengajar. Ujung-ujungnya akan bermasalah dengan pihak imigrasi. Jadi, jangan asal terlihat bule.

Selain itu, masalah lain yang sering muncul terkait tenaga kerja asing adalah masalah budaya. Tenaga kerja asing, dalam dunia pendidikan khususnya, harus bisa menyesuaikan diri dengan budaya Indonesia. Jangan sampai muncul tenaga kerja asing yang menjadi guru di sekolah tetapi kurang sopan dalam berbusana. Tentu yang seperti itu justru akan memberi pengaruh buruk kepada para siswa dan hal itu tidak kita harapkan.

Dengan diberlakukannya UKBI bagi tenaga kerja asing yang akan menjadi pengajar di Indonesia, tentu ini merupakan penyaring agar tenaga kerja asing tidak terlalu mudah masuk ke Indonesia. Di sisi lain ini adalah bentuk perlindungan bagi para calon guru Indonesia yang akan masuk ke dunia pendidikan.

Kalau kita menuntut para tenaga kerja asing dengan kriteria yang tinggi, bukan berarti kita boleh santai-santai. Kita pun harus memberlakukan standar yang tinggi untuk para pendidik kita. Kalau orang luar harus ikut UKBI, kita pun harus ikut juga. Muara dari semua itu adalah agar kualitas dunia pendidikan kita tetap terjaga. Hanya orang-orang yang berkualitas yang bisa masuk sebagai pengajar.

Persaingan dalam hal kualitas tenaga kerja tersebut seharusnya tidak hanya terjadi di dalam negeri. Kita harusnya juga berusaha melakukan ekspansi untuk bekerja di luar negeri dalam posisi-posisi yang bergengsi, bukan hanya di sektor non-formal, sebagai pekerja rumah tangga.

Kembali ke masalah UKBI tadi, saat akan mengikuti UKBI tersebut, saya sebenarnya sangat penasaran ingin segera mengetahui model soalnya. Sebagai guru bahasa Indonesia, seolah ada tuntutan tersembunyi yang berlaku bahwa nilai harus bagus. Tentu akan memalukan jika orang Indonesia, sebagai guru bahasa Indonesia, tetapi nilai UKBI rendah. Dengan kata lain, para guru bahasa Indonesia ini mempunyai beban lebih ketika mereka akan mengerjakan UKBI.

Dari pengalaman saya mengikuti UKBI tersebut, barangkali hanya di bagian Merespon Kaidah, para guru bahasa Indonesia akan lebih unggul dibanding yang lain. Kalau untuk seksi mendengarkan dan membaca, tentu semua orang, tidak hanya guru bahasa Indonesia, memiliki peluang yang sama.

Sebagai sebuah alat ukur kemahiran berbahasa yang diterapkan untuk berbagai bidang dan profesi, UKBI ini tentu sangat baik. Akan tetapi, kalau UKBI tersebut digunakan untuk mengukur kemampuan siswa yang dikaitkan dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai berdasarkan kurikulum, tentu tes tersebut harus disesuaikan dengan standar isi yang terdapat dalam kurikulum sekolah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline