Gawai = tradisi kebersamaan masyarakat adat dayak yang tetap lestari, prinsipnya bahwa kebahagiaan yang wajib kita bagi-bagi.
April 2010 di desa Nanga Tangkit kecamatan Sokan kabupaten Melawi, perjalanan yang kutempuh hampir sehari penuh dari nanga pinoh dengan menggunakan sampan. Sebenarnya sampan ini dilengkapi dengan motor tempel di buritannya namun macet mendadak di pertengahan jalan sehingga jadilah kami mendayung semampu kami sembari banyak beristirahat di banyak tempat maklumlah melawan arus. hari telah gelap ketika kami sampai pun lagi-lagi dicuahi air dari atas sana, sehingga kuyuplah kami, namun itu semua terobati karena adanya pesta pernikahan di desa tangkit.
Jam 9 malam, desa kecil nan temaram, namun malam itu suara gaduh dari gamelan dan nyanyaian daerah begitu nyaring terdengar. aku pun duduk manis di rumah penjamu itu. disuguhinya makanan dengan gaya masakan lokal, lauk dari ternak babi pribadi dan bumbu dari pekarangan, datar rasanya namun begitu natural. Segera setelah perjamuan makan, upacara pernikahan pun dilangsungkan kedua mempelai dinikahkan adat, ditaburi dengan beras dari sanak famili terdekat, sebagai tanda berkat kurasa. Adegan mempelai menggigit parang sebagai balasan dari berkat yang diperoleh dan teriakan serta percakapan dari mereka yang dituakan kepada keluarga mempelai wanita dalam bahasa dayak setempat, seperti berpantun namun diselingi dengan senandung dengan nada tinggi dan bercengkok khas sekali dayak kebahatn. Mengaggumkan budaya ini tidak hilang dan tetap ada walaupun hanya diturunkan secara lisan.
Setelah semua seremonial selesai, mulailah acara menari, hehe, akupun terpaksa menari demi menghormati mempelai, mekanismenya seperti ini, empat orang dua lelaki dan dua wanita dipilih ke "panggung", dibekali dengan selendang yang harus dipakai saat menari. Sebelum menari wajib memberi hormat kepada setiap orang dan mereka yang kita sapa harus membalas dan memberi ijin untuk kita menari, lelah juga, kemudian penari berlutut saling berhadapan dengan pasangan, namun sebelumnya disodorkan empat buah gelas kecil berisi tuak yang harus kita habiskan sebelum menari dan kami pun mulai menari. haha...aku menari dengan ragunya, kikuk namun tetap kujalani, untungnya tarian dayak tidaklah serumit tarian bali dan durasinya cukup singkat sehingga aku boleh duduk kembali dan mentransfer selendangku ke calon penari pria berikutnya.
Tak lama berselang, aku dipanggil kembali kali ini bukan untuk menari, yang dipanggil adalah enam orang secara acak. Dengan bingung aku mengikuti kemana aku diposisikan. Dan... terlihat empat tempayan dari yang paling kecil sampai yang terbesar, pada penutupnya terdapat empat bambu kecil layaknya sedotan...ternyata aku harus minum tuak dari empat tempayan tersebut semampuku saja sih namun ini kali pertama juga buatku. Tuak adalah minuman fermentasi dari enau atau beras, biasa dipakai masyarakat dayak sebagai "pemanis pesta". Mulailah aku meminum dari sedotan bambu pada tempayan pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Tuak itu terasa agak pahit dari biasanya, dan segera setelahnya kurasakan hangat di dada dan cenderung limbung langkahku. Yap dan sembari mendengarkan suara alunan gong dan gamelan yang bertalu-talu seperti hendak mengejar sesuatu, akupun duduk kembali, bercerita dengan penduduk setempat, dan menunggu kapan lagi giliaranku untuk menari dan untuk...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H