Lihat ke Halaman Asli

Gayuh Arya Hardika

Pengamat dan Praktisi Hukum

Mengapa Penetapan Tersangka Bukan Obyek Gugatan Praperadilan?

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat siaran sidang gugatan praperadilan yang diajukan BG terhadap KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan agenda pembuktian, yang mana kuasa hukum BG mencecar pertanyaan kepada saksi AKBP Irsan tentang mekanisme penetapan tersangka di KPK, saya jadi mengernyitkan dahi. Dengan menanyakan mekanisme penyelidikan dan penyidikan serta penetapan tersangka dalam persidangan praperadilan, kuasa hukum BG sepertinya lupa sesuatu yang mendasar, atau mungkin mereka menduga asas yang berlaku dalam penegakan hukum pidana Indonesia sudah berubah.

KUHAP telah menentukan secara limitatif tentang obyek gugatan praperadilan, dan penetapan tersangka bukanlah bagian dari obyek gugatan praperadilan. Pasal 1 butir 10 KUHAP menyatakan bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: (a). sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; (b). sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan (c). permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Ketentuan dan cakupan praperadilan tersebut dipertegas dalam ketentuan Pasal 77 jo. 78 ayat (1) KUHAP.

Fungsi KUHAP dalam proses penegakan hukum pidana materiil adalah sebagai sarana untuk perwujudan keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan martabat tersangka sebagai manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Setiap aparat penegak hukum tidak dibenarkan bertindak di luar ketentuan hukum (undue process of law) serta tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang (abuse of power) dalam melakukan tindakan upaya paksa pada proses awal penegakan hukum itu sendiri.

Kita mahfum bahwa berdasarkan konsttusi, UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya, segala pelaksanaan urusan kenegaraan dan pemerintahan harus berdasarkan hukum serta peraturan perundang-undangan. Termasuk dalam hal ini adalah proses penegakan hukum juga harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karenanya, penilaian tentang proses penegakan hukum apakah sudah tepat atau tidak, harus merujuk dan didasarkan pada ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku.

Kuasa hukum BG sepertinya perlu melihat kembali ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang dianut dalam sistem penegakan hukum pidana Indonesia yang diatur dalam KUHAP itu sendiri. Dalam sistem penegakan hukum pidana Indonesia, dianut asas: setiap orang harus dianggap tidak bersalah atau "praduga tak bersalah" sebagai hak asasi yang melekat pada diri setiap tersangka atau terdakwa, sampai kesalahannya dibuktikan dalam sidang pengadilan yang bebas dan jujur di depan umum.

Artinya, status “tersangka” yang disematkan kepada seseorang itu tidak berarti bahwa yang bersangkutan secara otomatis pasti bersalah. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Tentang bersalah atau tidaknya seseorang, itu bukan domain wewenang praperadilan, melainkan wewenang Majelis Hakim peradilan pidana yang memutuskan.

Memang status tersangka atas pelanggaran ketentuan pidana yang diancam hukuman penjara 5 (lima) tahun ke atas atau pelanggaran atas pasal-pasal tertentu, bisa mempunyai konsekuensi tertentu, yaitu pengurangan dan pembatasan kemerdekaan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Dikatakan “bisa mempunyai konsekuensi” karena masih bersifat potensial; tersangka bisa ditahan, bisa juga tidak, bergantung pada penilaian subyektif penyidik dan penuntut umum.

KUHAP memang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam rangka kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana. Tindakan upaya paksa tersebut merupakan pengurangan atau pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, serta harus dilakukan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan hukum serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Walaupun seseorang ditetapkan sebagai tersangka, namun selama belum divonis oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, hak-hak tersangka masih utuh melekat, kecuali apabila tersangka dikenai tindakan penangkapan, penahanan dan lain-lain sebagaimana tersebut di atas. Selain itu, dalam persidangan peradilan pidana—bukan sidang praperadilan—tersangka bisa saja divonis tidak bersalah dan tidak dijatuhi hukuman pidana. Karena itulah obyek gugatan praperadilan adalah hal-hal terkait tindakan paksa pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dalam proses penegakan hukum pidana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline