Judul film ‘The Raid’, juga nama Gareth Evans dan Iko Uwais memang masih hangat dibicarakan public Indonesia, terutama saat film The Raid berhasil menembus pasar perfilman di Amerika dan memperoleh penghargaan The Cadillac People’s Choice Midnight Madness Award pada Toronto International Film Festival 2011 dan diputar di berbagai film festival presticius lain. Para kritikus film di seluruh dunia pun memberikan ulasan positif bagi film yang satu ini sehingga bukan hanya nama Indonesia menjadi semakin harum di perfilman dunia, tapi bahkan public Indonesia sendiri berbondong-bondong memberikan pujian setinggi langit untuk film yang disutradarai oleh Gareth Evans yang sebelumnya cukup berhasil membesut film Merantau pada 2009. Dan seolah tidak ingin membiarkan dengung The Raid ini hilang dari benak penonton dengan cepat, tepat dua tahun setelah film pertamanya, The Raid 2: Berandal serentak ditayangkan di Indonesia dan Amerika pada Maret 2014 ini.
Menyambung film pertamanya, walaupun sang sutradara mengaku bahwa ide film kedua ini sebenarnya sudah tercetus jauh lebih dulu dari pada film pertamanya, The Raid 2: Berandal menceritakan kelanjutan kisah dari seorang perwira pemula satuan senjata dan taktik khusus bernama Rama (Iko Uwais) yang selamat dari pembantaian yang terjadi di sebuah gedung yang dikuasai seorang gangster berbahaya. Setelah berhasil keluar hidup-hidup dari ‘neraka’ tersebut, Rama bertemu dengan Bunawar (Cok Simbara) yang merupakan kepala satuan tugas anti-korupsi di Jakarta. Awalnya Rama mengira bahwa Bunawar akan bisa membantunya kembali ke keluarganya dan melanjutkan hidupnya sebagai seorang polisi biasa, tapi ternyata dia salah. Keberhasilannya menghancurkan salah satu kelompok gangster besar itu membuatnya menjadi target yang menakutkan bagi para petinggi korup yang diam-diam terlibat dengan berbagai macam tindakan kotor di ibukota.
Untuk mencegah Rama menjadi ‘target hidup’ bagi para ‘preman berdasi’ tersebut, Bunawar menawarkan untuk menghapus keterlibatan Rama dalam pembantaian tersebut dan meminta Rama bergabung dalam satuannya untuk membantu Bunawar memberantas para koruptor tak berperasaan yang ternyata bercokol sebagai petinggi kepolisian. Dengan mempertimbangkan keselamatan anak, istri dan seluruh keluarganya Rama pun menyetujui hal tersebut. Dia pun diminta untuk menyamar sebagai Yuda, seorang ‘anak kampung biasa’ yang dipenjara karena memukul anak pejabat hingga babak belur. Di dalam penjara Yuda harus berhasil menarik perhatian Ucok (Arifin Putra) yang merupakan anak seorang pimpinan gangster kelas kakap dan paling ditakuti di Jakarta bernama Bangun (Tio Pakusadewo).
Masalah yang perlu dihadapi Rama tidak hanya itu saja. Dia harus mengalami kesedihan yang mendalam atas kematian sang kakak: Andi (Donny Alamsyah) yang dibunuh oleh seorang gangster muda penuh ambisi yang sedang memperluas area kekuasaannya di Jakarta: Bejo (Alex Abbad). Keinginan Rama untuk membalas dendam semakin menjadi-jadi ketika dia mengetahui bahwa Ucok mulai menjalin kerjasama dengan Bejo. Tapi semua usaha yang Rama lakukan untuk membalas dendam dan menyelesaikan tugasnya dengan cepat dan kembali kepada keluarganya tidaklah mudah. Semua itu butuh perjuangan keras, air mata dan pertumpahan darah. Keterlibatannya dengan keluarga Ucok juga membuat Rama tercebur semakin dalam ke dalam lautan dunia kelam ibukota dan juga intrik rumah keluarga Ucok yang penuh obsesi, ambisi dan tentu saja, kekerasan.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, uforia film The Raid masih sangat kuat dibicarakan, bahkan setelah dua tahun perilisan resmi film tersebut. Karena begitu harumnya film ini di Indonesia maka sekuel film ini pun sudah sangat ditunggu-tunggu kehadirannya di bioskop-bioskop tanah air dan, tentu saja, banyak kalangan artis dan actor tanah air yang sangat mau tampil dalam film ini walaupun hanya dalam durasi yang sangat singkat. The Raid 2: Berandal juga langsung diikut sertakan di berbagai film festival di seluruh dunia dan, sekali lagi, mendapatkan pujian yang positif. Benar, sekali lagi Gareth Evans yang sebenarnya berkebangsaan Britania Raya ini berhasil membawa film The Raid merajai perfilman dunia dan mengharumkan nama bangsa Indonesia.
Dan bukan hanya itu. Gareth Evans juga berhasil menyuguhkan aksi bela diri khas Indonesia: pencak silat ke kancah dunia melalui film kreasinya sekali lagi. Dengan sinematografi yang indah, aksi kejar-kejaran yang menegangkan dan koreogafi yang menakjubkan, The Raid 2: Berandal memang patut diacungi jempol. Belum lagi, kompleksitas cerita dalam The Raid 2 ini memang lebih menarik, dengan konflik dan intrik yang menarik. Gareth Evans menampilkan sisi kelam ibukota dengan berani dan apa adanya, yang penuh dengan korupsi, tindakan criminal terselubung dan kekerasan. Bahkan beberapa situs review film yang cukup terkenal di dunia maya: IMDB dan Rotten Tomatoes memberikan review yang bagus dan jumlah bintang yang banyak. Benar-benar membanggakan.
Tapi apakah film ini memang sangat menyenangkan untuk ditonton?
Memang penilaian setiap orang untuk sebuah film pastilah berbeda-beda. Jika satu orang bisa sangat menyukai sebuah film, orang lain belum tentu menyukai film tersebut dengan sama besarnya. Ini tentu saja terpengaruh dari selera pribadi setiap orang. Bagi orang yang tidak menyukai film yang penuh adegan kekerasan, dengan begitu banyak cipratan darah dan kata-kata kasar, mungkin tidak akan menyukai film The Raid ini. Bahkan ada beberapa orang yang merasa mual dan pusing setelah menonton film ini. Tapi, menurut saya, The Raid 2: Berandal tidak lebih bagus dari pada film pertamanya. Walaupun intrik cerita yang ditampilkan film kedua ini lebih kompleks dari pada film pertama, tapi ada begitu banyak kekurangan saat eksekusinya dilakukan.
Plot yang disajikan film ini meloncat-loncat. Saat menjelaskan latar belakang kisah film kedua ini, plot sengaja dibuat patah-patah dan berharap dapat berkesinambungan satu adegan dengan yang lain, walaupun_sekali lagi, menurut saya_ formula ini tidak cukup berhasil. Loncatan-loncatan plot ini malah akhirnya dapat membuat para penonton kebingungan. Alur kisahnya cukup lambat di awal film sehingga membuat saya kelelahan mengikutinya pada pertengahan durasi.
Acting Iko Uwais setingkat lebih baik jika dibandingkan dengan film pertamanya, tapi sebagai tokoh utama yang menghiasi poster film ini secara tunggal, kenapa saya merasa durasi tampilnya sang tokoh utama ini malah sangat kurang, yah? Di tengah-tengah film saya malah merasa kehilangan tokoh utama saya, sehingga saya merasa Arifin Putra yang memerankan tokoh antagonis utama lebih berperan besar. Dengan kualitas acting yang sangat berkualitas dan jauh lebih baik dari pada sang tokoh utama, memang tidak heran jika para penonton akan lebih bisa bersimpati kepada Ucok, sang anak pemimpin gangster dari pada kepada Rama, sang polisi yang ditugaskan untuk menyamar. Belum lagi, terdapat cukup banyak kemunculan tokoh baru dalam film kedua ini yang tidak memiliki latar belakang tokoh yang kuat ataupun kesempatan untuk ‘memperkuat’ karakter mereka di mata penonton. Mungkin ini karena beberapa karakter tersebut hadir di tengah-tengah film dan hilang bahkan saat film ini belum mencapai klimaks.
Lalu bagaimana dengan setting film yang sedikit membingungkan? Apakah film ini bersetting di Jakarta, berhubung beberapa dialog menyebutkan nama-nama tempat yang cukup terkenal dan ikonik di ibukota? Tapi kenapa ada salju di kota Jakarta? Dan apakah Rama berhasil menjalankan tugasnya dengan baik? Kenapa saya merasa tidak ada anti-klimaks yang seharusnya dapat menjelaskan berbagai pertanyaan yang muncul di sepanjang film ini, yah?
Well, seperti yang saya sebutkan tadi, setiap orang memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda-beda mengenai sebuah film, sesuai dengan selera pribadi setiap orang. Tapi bagi saya pribadi, The Raid 2: Berandal mungkin kurang mendapatkan ‘sentuhan seorang wanita’ di dalamnya. Yang saya maksud bukanlah acting seorang actress, tapi saya rasa film ini kurang memperhatikan sisi dramanya. Jika saja kedalaman kisah, pengembangan karakter setiap tokohnya dan juga latar belakang kisahnya mendapatkan perhatian lebih juga, dengan semua action scenenya yang indah itu, film ini bisa terasa sempurna.
Tadinya saya hanya ingin memberikan dua setengah dari lima bintang untuk film yang satu ini, tapi jika saya hanya memberikan bintang sebanyak itu, itu artinya saya tidak menghormati kualitas acting Arifin Putra yang sangat prima di film ini. Karena itu, saya akan memberikan tiga dari lima bintang sebagai ajang ‘angkat topi’ saya bagi sang pemeran antagonis utama tersebut. Plus saya akan mendeklarasikan diri bahwa saya ‘jatuh cinta’ dengan Arifin Putra melalui tiga bintang tersebut. ;)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H