Lihat ke Halaman Asli

Catatan: KPK Tentang KUHAP

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya buka suara tentang sikapnya terhadap RUU KUHAP yang saat ini sedang digodok oleh DPR. Abraham Samad menyatakan posisi KPK tidak dalam posisi menolak serta merta RUU KUHAP dan KUHP tapi posisi KPK ingin memohon kepada pemerintah dan DPR untuk sebisa mungkin menunda dan menangguhkan pembahasan kedua RUU ini karena KPK melihat ada beberapa hal yang krusial yang kalau dipaksakan akan mengganggu upaya-upaya pemberantasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilakukan KPK.

Dalam konferensi pers di gedung KPK, Samad memaparkan pertimbangan KPK meminta Pemerintah dan DPR untuk menunda sementara pembahasan yang tengah dilakukan. Samad menilai dalam RUU KUHAP sifat kejahatan luar biasa dari korupsi menjadi tereliminir dengan dimasukkannya dalam buku II RUU KUHP. Selain korupsi, menurut Samad, RUU KUHAP juga akan mengeliminir sifat kejahatan luar biasa yang lain, seperti Terorisme, Narkotika, dan pelanggaran HAM.

"Kalau sifat kehajatan luar biasanya hilang, maka konsekuensinya lembaga-lembaga yang punya kompetensi seperti KPK, PPATK dan BNN tidak relevan lagi atau bisa dikatakan lembaga bubar bila kejahatan luar biasa itu dipaksakan masuk ke buku II," ungkap Samad di KPK, (19/2/2014)

Samad juga menjelaskan beberapa substansi yang ia lihat dalam RUU bisa menghambat pemberantasan korupsi. Ia memberikan contoh fungsi kewenangan penyelidikan yang dihilangkan. Padahal, tegas Samad, fungsi penyelidikan yang dimiliki sangat berguna karena Law Full Interception yaitu penyadapan dilakukan saat penyelidikan. "Jadi kalau penyelidikan dihilangkan akan sulit melakukan langkah pemberantasan korupsi," tegas Samad.

Tentang beberapa delik atau aturan, Samad menyinggung tentang delik penyuapan atau gratifikasi yang akan masuk pada delik yang berhubungan dengan jabatan bukan lagi delik korupsi. Bila hal tersebut benar-benar terjadi itu berarti KPK tidak bisa menyidik penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi.

Poin lain yang menjadi concern KPK yakni tentang kewenangan melakukan penyitaan. Kalau dilihat di RUU KUHAP penyitaan akan mengalami sedikit hambatan karena ditegaskan bahwa kewenangan penyitaan harus dengan izin hakim pendahuluan. Menuru Samad, hal tersebut juga menghambat poin lainnya tentang waktu penahanan yang diberikan dalam tahapan penyidikan yaitu 5 hari.

"Anda bisa bayangkan kalau proses tahapan penyidikan KPK diberikan waktu 5 hari sebagai kejahatan White Colar dan Extraordinary akan sulit untuk merampungkan pemberkasan untuk dilimpahkan ke penunturan," papar Samad.

Oleh sebab itu, KPK pun merekomendasikan empat hal. Pertama, Pemerintah dan DPR tunda pembahasan dua RUU itu. Kedua, Delik korupsi dan delik luar biasa lain diatur dalam UU tersendiri agar Lex Specialis terlihat. Ketiga, RUU KUHAP sebagai hukum pidana formil sebaiknya dibahas setelah pembahasan RUU KUHP sebagai hukum formilnya. dan Keempat, pemberlakuan dua RUU tersebut sebaiknya diberikan transisi tiga tahun untuk menyesuaikan dengan RUU Tipikor dan UU lain yang terkait.

Samad pun mengaku bila KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden dan DPR untuk memohon penghentian atau penundaan RUU KUHAP tersebut. Saat ini  KPK sedang menunggu respon dari presiden. "Kita seyogyanya berpikir positif bahwa rekomendasi yang diajukan KPK itu Insya Allah mungkin diikuti, paling tidak pemerintah ambil langkah yang lebih konstruktif bukan destruktif," pungkas Samad.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline