Lihat ke Halaman Asli

Catatan: Media yang Berpihak

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya tak pernah serius dalam menonton televisi, juga tak menelan bulat-bulat informasi yang tertulis dalam media massa. Karena saya sadar, saat ini, di alam pers yang menemui kebebasannya, ada modal yang menyokongnya untuk tetap hidup memberikan informasi kepada rakyat Indonesia. Maka dari kebebasan itu saya dipaksa untuk bisa memilah dan menilai, mana yang informasi beneran dan mana informasi yang dagelan.

Memilah informasi yang beneran atau dagelan memang agak sedikit sulit. Namun bukan berarti tidak dapat dicapai. Karena, apa pun itu, kebenaran jua yang akan menang. Seteru informasi antar media, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, memang menjadi sebuah masalah tersendiri. Seolah mengabaikan posisi sebagai media yang bertanggungjawab, acara-acara di televis itu atau kabar-kabar yang ada di koran itu kebanyakan berisi tentang kebaikan bagi suatu golongan dan keburukan bagi golongan lainnya.

Barangkali teori Pers Bertanggungjawab Sosial dari Comission on The Freedom of The Press yang ingin mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dengan tanggungjawab sosialnya, kini mulai ditinggalkan. Tentang media yang harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks memberikannya makna. Tentang media yang harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik. Tentang media yang harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat, tentang media yang harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat, serta media yang harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat.

Penentuan syarat-syarat media yang bertanggungjawab sosial memang tidak mengikat. Syarat tersebut merupaan syarat tersirat, ternyata ia tercipta bukan hanya untuk para penyelenggara media semata saat ini, melainkan juga untuk khalayak luas yang dipaksa cerdas bila ingin mendapatkan informasi yang berimbang. Barangkali, arti media yang tidak boleh berbohong, tidak memisahkan antara fakta dan opini alias harus lebih dalam dari sekedar menyajikan fakta-fakta, sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi menjual. Maka, bila informasi sudah diartikan sebagai untung-rugi sebuah golongan, saya khawatir, apakah berita-berita itu, yang ditayangkan itu atau yang ditulis itu hanya sekedar menjalankan fungsi pers sebagai penghibur? Ya setidaknya bila tidak ada yang terhibur, hal tersebut bisa menjadi fungsi swadaya pers dan tetap ada yang merasa terhibur: Si pemilik Media.

Barangkail ada ada benarnya gagasan John Milton lewat self-righting process-nya dalam menghadapi kebebasan. Penyair Inggris itu, cenderung meng-halal-kan informasi-informasi yang berseliweran, baik informasi yang benar maupun yang salah, baik informasi yang independen maupun yang ditunggangi, singkatnya,semua -informasi- sah dan semua kebagian tempat karena barang tentu John sadar, itulah harga yang harus dibayar untuk sebuah kebebasan. Pada akhirnya, kita yang menilai sendiri tentang informasi yang kita dapat, untuk kemudian kita tentukan mana yang benar dan mana yang salah.

Apa yang dipercayai oleh John Milton memang menarik, tapi sesungguhnya dalam rentang waktu penantian dalam mendapatkan kebenaran bisa menjadi celah bagi kesesatan menyusup ke dalam kepala seseorang, bukankah sesat bisa jadi membatu dan akhirnya menyatu dalam pikiran alias menjadi bebal yang tak tersembuhkan? Bila kemudian pada akhirnya kebenaranlah yang akan muncul belakangan, bukan berarti kebenaran itu menjadi sebuah kebenaran yang sejati. Karena bisa jadi, kebenaran -dalam rentang waktu penantian seseorang- hanya menjadi notalgia yang bisa dilihat saja, karena kebenaran itu indah adanya.

Mungkin hal tersebutlah yang kemudian coba dilawan oleh Pramoedya Ananta Toer, dengan elegan dia memercayai bahwa benar, 'kebenaran' yang akan menang di kemudian hari.Tapi dengan gelora sejuta luka di dalam hatinya, ia menolak untuk menunggu : "... kebenaran tidak jatuh dari langit, ia harus diperjuangkan agar menjadi benar,".

*

Kini media menjadi sarana untuk ajang promosi, alat kampanye, juga propaganda. Media A mengangkat isu yang bisa menaikkan tingkat elektabilitas salah seorang tokoh, kemudian berlaku sebaliknya untuk tokoh yang lain, melalui kegiatan jurnalistiknya mereka coba merekam segala hal yang mungkin dapat menyerang. Perang media memang bukan hal yang membingungkan lagi. Jauh sebelum pemilihan presiden tahun ini, wacana tentang politik di Indonesia akan dikuasai oleh raja media sudah santer terdengar seantero Indonesia. Karena kemudian para raja media itu ikut bergabung dalam partai politik bahkan ada pula yang membuat partai sendiri.

Saat ini, boleh dikatakan, adalah puncak peperangan politik di Indonesia dengan medianya. Masyarakat disodorkan oleh banyaknya isu yang berseliweran. John Milton, beratus-ratus tahun lalu sudah mafhum, tapi sayang tak banyak yang kenal dirinya, baca karyanya pun tidak, apalagi untuk mendengar wejangannya. Maka, tak sedikit pula korban yang berjatuhan, mereka yang termakan isu politik lewat berita sepihak, mereka yang terbentuk sikapnya lewat pemberitaan yang tak berimbang. Mereka, yang barangkali tak menulis, atau juga yang sedikit membaca, bisa jadi juga mereka yang tak sabar dalam menanti kebenaran. Tapi bukankah mengambil sikap dewasa ini -seperti yang dianjurkan- sedikit lebih baik daripada tidak bersikap?

Maka beruntunglah Indonesia ini, di negeri yang segalanya masih baru ini, telah ada salah satu media bernama Kompasiana. Tempat saya membaca dan menulis tentang sebuah isu, masalah, atau pendapat dari banyak kepala dengan segala motif dan tujuan. Ini adalah salah satu kelebihan bagi orang-orang (tentunya tidak semuanya yang ada di Indonesia) yang ingin bersama-sama mencari kebenaran tentang sebuah peristiwa. Maka, saya sebut Kompasiana adalah tempat berjuang untuk mencari kebenaran. Apakah kemudian fungsi pers dan profesi wartawan akan menjadi sama dengan seorang pengangguran yang wara-wiri cari informasi?

Untuk menjawab hal tersebut, cukup menarik bila mencermati teori pers Partisipan Demokratik yang dipaparkan oleh Denis McQuail lebih dari dua dekade lalu. Teori ini, disebutnya lahir dari reaksi atas komersialisasi dan monopolisasi media yang dimiliki swasta dan sebagai reaksi atas sentralisme dan birokratisasi institusi-institusisiaran publik, yang timbul dari tuntutan norma tanggung jawab sosial. Teori inilah mirip dengan semangat jurnalisme warga yang kini sedang menjamur di negeri kita. Menjadi sebuah semangat positif dengan tujuan memberikan informasi yang seutuh-utuhnya, bukan lewat satu sumber tentang sebuah opini, melainkan lewat benturan-benturan opini yang kemudian menciptakan satu pemikiran yang fair.

Maka seperti yang sering kita temui di Kompasiana ini, dimana beramai-ramai orang datang menulis dan beramai-ramai membaca. Tentang artikel, beramai-ramai Kompasianer setuju, beramai-ramai pula para Kompasianer membantah. Semua itu terjadi tidak lain dan tidak bukan hanya untuk mencari kebenaran, atau untuk memperjuangkannya agar menjadi benar.

Dan wartawan tetaplah wartawan, seseorang yang kerja sehari-harinya mencari berita, mendatangi tempat sebuah peristiwa, melakukan wawancara, kemudian menyebarluaskannya kepada masyarakat tentang apa yang ia lihat, tentang yang dengar, dan sedikit apa yang mereka pikirkan serta barangkali ada beberapa 'pesanan'. Tak ada yang salah, sejauh berita yang mereka tulis tak menyulut perang saudara dan merendahakan etnis maupun agama tertentu.

Berita tetaplah berita, Informatif dan menghibur, meski di baliknya ada pesanan dari pihak tertentu. Dengan masyarakat yang turut aktif berpartisipasi dalam kegaiatan pers, wartawan -atau apa pun namanya untuk para pencari berita dengan medianya masing-masing- merupakan rekan dalam upaya merekonstruksi kebenaran. Adakah kiranya yang lebih indah selain semangat berjuang? Meski yang kita perjuangkan adalah sebuah kebenaran, yang kebanyakan orang bilang tidak akan pernah utuh atau yang didalam berita kita sebut 'Objektif'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline