Mengamati debat Capres dan Cawapres semalam sebagai penonton, adalah sesuatu yang mengasyikkan. Debat dengan teman "Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan Bersih dan Kepastian Hukum" memang menjadi tolokukur bagi para pemilih untuk memantapkan hatinya menjatuhkan pilihan kepada salah satu pasangan.
Di tengah maraknya komentar mengenai 'Kertas nongol di jas jokowi', 'Prabowo yang emosi menghadapi pertanyaan seputar HAM', 'Hatta yang memilih setuju dengan program lawan dibanding mendebatnya', serta JK yang ditahbiskan sebagai Man of The Match pada debat pasangan capres dan cawapres semalam, ada seseorang yang tak bisa lepas dari pembicaraan, ialah Zainal Arifin Mochtar.
Lahir di Ujung Pandang, 8 Desember 1978, tamat sarjana fakultas Hukum UGM pada tahun 2003 dengan tugas akhir berjudul "Konsep Pertanggungjawaban Pelaku Crimes Against Humanity di Pengadilan HAM" sudah cukup menjadi alasan mengapa pertanyaan seputar HAM begitu menonjol semalam. Bagi beberapa pengamat, hal ini menguntungkan pihak pasagan No. 2 untuk menyerang habis pasangan No. 1 yang memiliki track record kurang baik tentang HAM, maupun hukum yang tak berpihak.
Tapi siapa disangka bila ternyata tema HAM yang dilempar oleh moderator itu bisa menjadi senjata makan tuan. Beberapa kali dalam siaran langsung debat tersebut, ada satu hal terpenting yang sering saya dengar "Saya mohon jangan bertepuk tangan bla bla bla bla", itu melanggar HAM. Setengah geli saya berpikiran, ini orang fasis amat, tepuk tangan aja diatur.
Beruntung saja, Pak Tarno, pesulap konvensional yang terkenal itu tidak menonton acara debat capres dan cawapres semalam. Apa jadinya bila Pak Tarno bertemu dengan Zainal?
Pak Tarno: Tolong dibantu ya, jadi apa 'prok..prok..prok..'
Zainal: Saya mohon untuk tidak bertepuk tangan bla bla bla bla
Dan burung dara pun tak jadi keluar dari topi tuxedo, kemudian tongkat sakti urung berubah menjadi bunga mawar. Jahat sekali...
Bertepuk tangan adalah hak azasi manusia --biasanya-- dalam menghargai atau bahasa kerennya apresiasi terhadap apa yang dianggap bagus atau keren. Kalau seperti semalam, di mana tepuk tangan dianggap sebagai kebisingan yang dapat mengganggu jalannya Debat, saya rasa tidak bijaksana. Karena, walau bagaimanapun tepuk tangan bisa menjadi suntikan moral bagi peserta debat. Maka kemudian saya menganggap perlu bila Komnas HAM menuntut kepada pemerintahan yang baru agar mereka menjamin kebebasan bertepuk tangan!
Barangkali dengan demikian, setidaknya dari tepuk tangan itu sebagian orang menemukan jawaban. Tentang pernyataan Prabowo yang bilang, tentang apa yang ia lakukan yang dikait-kaitkan dengan pelanggaran HAM itu memang sebuah tugas berat yang harus dipertanggungjawabkan kepada atasan, dan untuk menilai apa yang ia kerjakan tergantung atasan menilainya. Seperti dalam debat, sebagian besar penonton enggan untuk bertepuk tangan, takut Moderatornya marah. Takut Debatnya dihentikan, atau si penepuk tangan diusir dari arena debat.
Maka ketika JK bertanya kepada Prabowo: "Kira-kira menurut anda apa penilaian atasan anda saat itu?"
Prabowo tak harus melempar pertanyaan kepada atasannya saat itu, ia cukup menoleh sedikit ke kiri sambil berkata "Bagaimana penilaian anda sebagai moderator yang melarang penonton tepuk tangan?"
Barangkali malam itu moderator akan menjawab: Silakan diberikan tepuk tangan!
[caption id="attachment_328262" align="aligncenter" width="655" caption="Sumber: Twitter @venomation"][/caption]
Have a good day! :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H