Lihat ke Halaman Asli

Indikator Percepatan Proyek ’Not As Usual’

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyusul rapat pertama Pengurus Pusat BKM-PII yang diselenggarakan di  Gedung Kementrian BUMN, Jakarta 8 Desember 2011, peserta rapat melanjutkan dengan  diskusi bulanan pertama yang diberi nama ; "Peer Group Discussion", dengan tema ”Indikator Percepatan Proyek ’Not As Usual". Diskusi yang dibuka Ketua Umum BK Mesin, Dr. Ir. Budhi M. Suyitno, IPM  itu  berlangsung meriah. Seluruh bangku di ruangan yang sebenarnya cukup besar itu penuh. Dari judul diskusinya saja orang sudah bisa menerka bahwa objek tinjauan adalah MP3EI. – Benarkah MP3EI adalah ”Percepatan Proyek ’Not As Usual’”? Pemateri yang tampil kali pertama ini,  Dr. Ir. Irnanda Laksanawan Msc.Eng tidak secara verbal menjawab pertanyaan itu. Tidak dengan binary mengomentari MP3EI ini betul atau salah, tepat atau gagal. Masterplan ini tentu didasari dengan itikad baik para pemangku kebijakan untuk memajukan Indonesia, salah satunya pada sektor industri nasional. Deputi Menneg BUMN Bidang Usaha Strategis & Manufaktur itu menjanjikan komitmennya untuk melakukan terobosan-terobosan terhadap berbagai bottleneck yang ada selama ini, agar proyek-proyek yang telah direncanakan bisa terlaksana. Seperti diketahui, prinsip organisasi berjalan dalam konsep POAC (Plan-Organize-Action-Control). Dua tahap awal, plan dan organize adalah tahapan yang relatif mudah. Tetapi action dan control-lah yang menjadi indikator keberhasilan suatu rencana organisasi. Jika MP3EI berjalan efektif, akan tercermin dalam PDB 2012 di atas 7%. Jika ternyata PDB masih di bawah 7% menandakan realisasinya biasa-biasa saja, alias pertanda bahwa MP3EI tidak jalan. Secara bercanda Ir. Irnanda mengatakan, Korea itu tidak konsisten, Indonesialah yang konsisten. Sejak 32 tahun lalu produksi baja Korea meningkat 20 x lipat, sedangkan produksi baja Krakatau Steel "konsisten", alias tak ada peningkatan berarti. Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah maupun kalangan industri untuk membenahi masalah tersebut. Daya saing industri, penguatan ekspor, dan proteksi non-tarif menjadi hal penting. Permasalahan yang cukup besar salah satunya adalah infrastruktur kita yang belum siap bersaing dengan China. Produksi baja China mencapai 54,3 juta metrik ton atau naik 9,7% dibanding Februari 2010. Kenaikan produksi juga dialami Jepang, yaitu naik 5,7% menjadi 8,9 juta metric ton, sedangkan produksi baja Korea Selatan naik 25,7% menjadi 5 juta metric ton. PT Krakatau Steel memperkirakan produksi perseroan hanya 2 juta ton hingga akhir tahun 2011. Tanpa ada inovasi hasil produksi, maka dalam tempo 4-5 tahun lagi, bakal banyak BUMN yang kolaps. Padahal perusahaan pelat merah juga harus bisa bersaing dengan produk-produk impor. Maka, BUMN strategis dan manufaktur telah menandatangani key performance indicator (KPI) dan komitmen pengembangan bisnis dengan Dr. Irnanda selaku Deputi Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur Kementerian BUMN. Menurut Dr. Irnanda, perusahaan BUMN harus mengembangkan teknologi agar bisa bersaing. Seperti yang dilakukan PT Telkom yang terus melakukan terobosan. Misalnya, pengembangan broadband dan fiber optic. “Semuanya harus di-drive dengan teknologi. Daya tarik persaingan ke depan adalah IT dan R&D. Kita harus membuat produk-produk yang lebih efisien dan murah agar bisa bersaing di pasar,” ujarnya. Satu ilustrasi menarik, tutur Ir. Irnanda, adalah bahwa China yang selama ini kita asumsikan melakukan dumping, sebenarnya tidak. Yang mereka lakukan adalah efisiensi. Penerapan teknologi dengan produksi besar-besaran sehingga komponen biaya jauh lebih hemat. Dan dalam hal ini kita kalah jauh. Walau hanya 26% produk lokal yang secara head to head berhadapan dengan China, di bidang industri kita kalah total. Mungkin di sektor jasa dan perdagangan kita diuntungkan oleh ACFTA. Berbeda dengan yang terjadi di sektor produksi, dimana 57% pelaku usaha UMKM bergerak di bidang tersebut. China menduduki posisi pertama dalam kinerja industri di Asia Timur dan Tenggara, sedangkan Indonesia pada urutan ke-38. Pertumbuhan nilai ekspor dan impor Indonesia dalam lima tahun terakhir tercatat 11,50% berbanding 24,47%. (Deddy)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline