Beberapa waktu lalu, publik baru saja di kejutkan dengan perkataan yang dilontarkan Miftah Maulana atau yang kerap di sapa dengan 'Gus' Miftah ketika sedang berceramah diatas panggung yang di ketahui, sambil melakukan Live Streaming lewat kanal Youtube pengajian tersebut. Hal ini bermula ketika ada seorang pedagang Es Teh yang belakangan di ketahui bernama Sunhaji, sedang berjualan di tengah-tengah pengajian yang sedang diisi olehnya. Kemudian, dari atas panggung acara tersebut, Miftah Maulana memanggil Sunhaji dan mengatakan bahwa Sunhaji meminta Miftah Maulana untuk memborong dagangannya. Lalu, alih-alih mengabulkan permintaan Sunhaji atau menolaknya secara halus. Miftah Maulana justru menanyakan apakah dagangannya masih banyak atau tidak. Kemudian di jawab oleh Sunhaji, bahwa dagangannya itu masih banyak. Setelah itu, Miftah Maulana malah berkata, "ya di jual, G*bl*k (dalam bahasa Jawa)" yang kemudian di sambut oleh tertawaan oleh nya, rekannya, dan beberapa jama'ah yang ada di tempat tersebut. Sedangkan Sunhaji, hanya terlihat diam saja ketika hal tersebut terjadi. Hal ini sontak mencuri perhatian warganet. Dan, membuat Miftah Maulana mendapatkan banyak kecaman atas perkataannya itu. Hingga akhirnya, Miftah Maulana pun meminta maaf kepada Sunhaji secara damai dengan datang ke rumahnya.
Namun, meskipun telah berdamai dengan Sunhaji, Perkataan Miftah Maulana itu dikecam oleh warganet. Hingga akhirnya, Miftah Maulana pun memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan nya di pemerintahan yaitu sebagai Utusan Presiden Bidang Keagamaan. Setelah munculnya petisi yang memintanya agar di pecat dari jabatannya tersebut.
Sebelumnya, salah seorang rekan dari Miftah Maulana yang pada saat kejadian juga berada diatas panggung, turut memberikan klarifikasinya terkait hal tersebut. Menurutnya, saat itu Miftah Maulana hanya sedang bercanda (guyon). Namun, warganet justru menyayangkan bercandaan yang dilontarkan Miftah Maulana tersebut. Menurut warganet, bercandaan yang dilontarkan oleh Miftah Maulana sudah keterlaluan dan tidak sesuai pada tempatnya, karena bercandaan itu dilontarkannya ketika ia sedang berdakwah di depan khalayak umum.
Jika dilihat dari keseluruhan permasalahan dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa perlakuan yang telah dilakukan oleh Miftah Maulana memanglah suatu pelanggaran terhadap norma kesopanan. Namun, dalam menyikapi suatu masalah yang terjadi di dunia digital. Maka seyogyanya bagi kita untuk mendalami permasalahan ini, sebagai bentuk refleksi dan juga evaluasi agar dapat bersikap bijak dalam melihat suatu permasalahan yang belakangan ini sering muncul.
Miftah Maulana memang jelas bersalah karena candaannya yang sudah terlewat dari batas-batas norma kesopanan yang telah umum ada di masyarakat. Namun, bagaimanakah pandangan etika digital dan budaya digital dalam masalah ini? Apakah Miftah Maulana benar-benar dapat dikatakan bersalah? Lalu, apakah respon masyarakat Indonesia dalam hal ini sudah tepat? Dan, bagaimanakah kita seharusnya bersikap di dalam dunia digital? Lalu, hal seperti apa kah yang pantas untuk di bagikan di dunia digital?
Seperti yang kita ketahui bersama, jika Indonesia merupakan Negara yang memiliki banyak suku, agama, bahasa, hingga ras yang berbeda-beda. Namun, di era digital saat ini, semua perbedaan tersebut tampaknya sudah mulai menyatu antara satu dengan yang lainnya. Apalagi jika kita melihat hal tersebut dari cara orang-orang di era ini berinteraksi antara satu dengan yang lainnya di media sosial. Maka akan terlihat bahwa mereka tampak tak memiliki perbedaan yang mencolok antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lainnya. Namun, meskipun begitu, bukan berarti orang Indonesia saat ini sudah tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai dari sebuah norma masyarakat. Berdasarkan permasalahan yang ada pada kasus Miftah Maulana tersebut, kita dapat melihat berbagai perbedaan tersebut. Walaupun tidak terlalu mencolok, tapi ada sebagian kelompok yang menganggap bahwa hal tersebut merupakan bercandaan biasa yang tidak perlu di permasalahkan. Padahal, bukanlah sebelumnya telah jelas bahwa kita sesama umat manusia diharuskan untuk menghormati sesama kita tanpa melihat perbedaan yang ada.
Begitu pula dalam dunia digital, etika digital juga serta merta menjunjung tinggi hal tersebut. Melansir dari KataData.co.id bahwa Etika digital dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyadari, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika dalam kehidupan sehari-hari di dunia maya yang di adopsi dari tata kelola etika yang sudah ada di dunia nyata. Etika digital, bahkan menjadi salah satu pilar literasi digital yang penting untuk dipahami dan dipraktikkan oleh seseorang ketika berinteraksi secara online. Etika digital ini juga mengatur cara kita bertindak dan berkomunikasi di dunia maya, termasuk juga didalamnya: Menghormati orang lain, Tidak menyebarkan informasi palsu atau hoaks, Menghindari tindakan cyberbullying, Menggunakan bahasa yang baik, Menghindari penyebaran SARA, pornografi, dan aksi kekerasan, Mengecek kebenaran berita, Menghargai hasil karya orang lain, Tidak terlalu mengumbar informasi pribadi, dan yang lainnya.
Etika digital ini juga memiliki dampak langsung yang akan terasa pada kualitas keamanan data pribadi. Maka dari itu, untuk menerapkan etika digital yang sesuai, kita dapat memulainya dengan memahami pengaturan privasi sesuai aturan hukum, memberikan pilihan pengguna untuk persetujuan akses data, dan memberikan transparansi informasi penggunaan data. Tak hanya bagi perorangan saja, tetepi Etika digital juga memiliki peran yang penting bagi perusahaan untuk mempertahankan reputasi yang baik di mata pelanggan, mitra bisnis, dan pemangku kepentingan lainnya.
Sedangkan, budaya digital juga memilki beberapa point yang saling berkaiatan dengan etika yang ada di dunia digital. Hal ini nantinya akan berkaitan untuk membangun lingkungan digital yang lebih sehat dan lebih baik kedepannya. Dimana, melansir dari Cakrawala.co bahwa, budaya digital ini berisi kumpulan nilai, praktik, dan norma yang muncul dari hasil penggunaan teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari. Budaya digital ini juga mencakup berbagai aspek, seperti cara berkomunikasi, bekerja, dan bersosialisasi secara online. Sementara itu ada juga beberapa komponen dari budaya digita, diantaranya seperti, Kesadaran tentang etika perilaku online, Pemahaman tentang netiquette atau etika dalam berkomunikasi di dunia maya, Penghargaan terhadap keragaman dan keterbukaan dalam berinteraksi, Pemahaman tentang hak privasi dan keamanan data, Pemahaman tentang pentingnya menghormati hak cipta dan kekayaan intelektual orang lain.
Dari kedua pembahasan diatas kita tentunya sudah dapat melihat bahwa pada beberapa point, Miftah Maulana sudah melanggar apa yang bisa kita sebut dengan etika dan budaya digital. Sedangkan respon masyarakat yang ada merupakan respon murni yang biasa muncul ketika terjadi suaru permasalahan. Menurut analisis kecil yang saya lakukan, saya juga merasakan adanya respon yang normal dilakukan masyarakat. Meskipun begitu, respon seperti ini juga perlu untuk mendapatkan tanggapan yang serius.
Selain etika digital dan budaya digital yag telah di sebutkan di atas. Saya juga mencoba untuk melihat ke aspek kemampuan dalam menggunakan peralatan digital seperti media sosial dan lain-lainnya secara lebih bijak. Melansir dari vida digital identitiy, bahwa kemampuan menggunakan teknologi digital dapat dilihat dari, kemampuan Mencari, mengevaluasi, menyimpan, menghasilkan, menyajikan, dan bertukar informasi, Berkomunikasi dan berpartisipasi dalam jaringan kolaborasi melalui internet, Membuat dan berbagi konten digital, Memecahkan masalah (problem solving) dengan efektif dan efisien