Lihat ke Halaman Asli

Bi yani

Guru SD Muhammadiyah Sendangtirta Berbah Sleman Yogyakarta

Bubur, Sebuah Kenangan di Awal Pernikahanku

Diperbarui: 13 November 2022   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

    Tiap kudengar orang menyebut nama bubur, aku langsung membayangkan suatu sajian makanan bertekstur lembek berwarna putih bercampur santan bila disantap terasa gurih. Bubur ini menjadi makanan kenangan bagiku. Karena mendengar kata bubur disebut orang, pasti ingat masa-masa awal hidup bersama suami di rumah mertuaku.

    Mertuaku seorang pedagang bubur. Orang biasa memanggil Mbah Wagi. Profesi ini sudah digelutinya sejak masih muda hingga menjelang tutup usia. Sebagai pedagang Bu ur, beliau sudah terbiasa bangun dini hari, sekitar pukul 02.00 sudah bersiap di depan tungku. Panci besar berisi air separuh wadah sudah disiapkan sejak sore hari, dan sudah siap di atas tungku. Bahan bakar berupa sampah-sampah  dedaunan yang sudah kering  juga sudah siap diwadah dekat tungku, satu tenggok besar. Serabut batang enau kering  sudah disiapkan pula.  Begitu di depan tungku, serabut keering dinyalakan pakai korek api, kemudian dimasukkan ke tungku. Dua batang kayu kecil dimasukkan juga ke tungku. Daun daunan kering yang ada di tenggok dimasukkan sedikit demi sedikit. Api pun menyala dengan stabil, memanaskan panci yang dijerang diatasnya. Setelah air mendidih, beras yang sudah dicuci bersih dan dibersihkan sejak sore pun dimasukkan ke dalam panci. Sambil sekali kali diudak. Sambil menunggu , ibuku menyiapkan kelapa untuk diparut dan dibuat santan. Setelah beras mulai mekar, santan cair dan daun salam segenggam dimasukkan beserta garam secukupnya. Kemudian diaduk  terus menerus agar  nasi bagian bawah tidak lengket sehingga  tidak gosong . Tangan kanan mengaduk bubur, tangan kiri sebentar-sebentar memasukkan daun daun kering ke tungku untuk menjaga kestabilan panas api. Setelah bubur setengah matang, santan kental dimasukkan, sambil terus diudak hingga hampir matang. Bila sudah hampir matang, daun daun kering sudah tidak dimasukkan ke tungku lagi. Pengudakan juga dihentikan, namun bubur masih tetap dibiarkan diatas tungku. Sehingga tetap terjaga kehangatannya. 

    Nah karena ibu mertuaku penjual bubur, maka otomatis sarapan pagi keluarga suamiku adalah bubur. Yang diberi kuah ketok. Ketok adalah sejenis sayur khas dari Klaten. Ketok terbuat dari tempe bisik yang ditumbuk halus diberi santan dan dibumbui cabai merah Awang merah bawang putih kemiri, kencur yang dihaluskan ditambah , salam, jeruk purut, dan lengkuas. Diberi tahu putih utuh. Setelah matang terlihat seperti sambal goreng namun agak kental.  Rasanya gurih. Sangat cocok disantap dengan bubur. 

     Meski  saya tidak terbiasa makan bubur, pagi hari, saya tetap harus mengikuti kebiasaan keluarga suami. Alhasil, tiapjam sembilan , perutku terasa sudah keroncongan. Waduh , lumayan tersiksa juga pikirku. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai orang baru di rumah mertua, tentu tidak punya keberanian untuk menyampaikan keluhan. Satu dua tiga hari tak apa-apa. Namun setelah duapuluh hari, tubuhku mulai merasakan ketidaknyamanan. Perut terasa perih, mudah pusing dan mual. Saya pun mengajak suami ke puskesmas. Setelah diperiksa, tidak kunjung sembuh.kemudian periksa di rumah sakit. Hasilnya sama. Didiagnosis mag. Dan tak kunjung sembuh.  Terus begitu. Kondisi saya yang lemah mengharuskan saya istirahat terus sekitar 6 bulan. Apalagi saat itu  saya hjuga amil muda. Wah rasanya luar biasa tersiksa. Perut tak bersahabat, badan lemas, bila mencium aroma bawang digoreng dan rasa mualnya makin hebat.  Meski begitu, saya tetap tidak berani bilang ke suami kalau saya sebenarnya tidak terbiasa sarapan bubur sehingga jadi seperti itu. Kupendam rapat dan tak ada yang tahu. 

   Penderitaanku berakhir ketika Ramadhan tiba. Meski hamil, saya tetap menjalankan ibadah  puasa. Anehnya justru pdengan beruasa itu sakutku seakin hari semakin membaik. Bahkan sembuh. Sehingga setelah Ramadhan berakhir, kondisiku sehat walafiat. Saya pun bisa beraktifitas biasa. Bisa membatu mertua . 

Begitulah kisah ku tentang bubur dan , yang menjadi kenangan tak pernah terlupakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline