Ngawi, Maret 2024. Memiliki hunian yang tenang dan nyaman sudah menjadi impian setiap orang, apalagi untuk pasangan yang baru saja menikah dan berniat untuk mencari tempat tinggal, hal ini pasti akan menjadi prioritas untuk dapat terwujud.
Selain nyaman, kebersihan, keamanan serta lokasi strategis yang dimiliki biasanya menjadi alasan beberapa pasangan untuk memilih tinggal di komplek perumahan. Namun tidak hanya soal kenyamanan ada juga tantangan yang ada hubungannya dengan sosialisasi.
Hidup di komplek perumahan umumnya terlihat individualis. Bahkan antara penghuni yang lain ada yang tidak saling mengenal dan jarang berkomunikasi. Prinsip hidup individualis ini mungkin kebanyakan berlaku di komplek kota-kota besar. Beda halnya di daerah dimana majelis ghibah masih menjadi budaya di kalangan emak-emak yang tinggal di komplek perumahan.
Tak jarang terjadi perseteruan antar emak berawal dari salah paham, hutang piutang, dan juga prahara ke-baperan. Padahal sebelumnya yang terlihat akrab-akrab saja akan berubah tetangga yang tidak saling kenal. Jangankan menyapa, berpapasanpun pasti akan saling buang muka.
Jadi perlu menjadi perhatian juga masalah yang satu ini jika kita sedang mencari hunian. Senyamannya tinggal di rumah, akan lebih nyaman lagi jika kita mempunyai gambaran kondisi dan habits positif warga di lingkungan sekitar. Apalagi jaman sekarang kesehatan mental menjadi hal yang sangat penting untuk tetap dipertahankan demi kewarasan. Untuk apa memiliki hunian yang nyaman namun kita berada di lingkaran toxic. Seberapa jauh kita dari menarik diri untuk tidak berada dalam circle tetangga toxic, yang terjadi justru kita yang akan dijadikan objek topik pembahasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H