Lihat ke Halaman Asli

Krisis Identitas Bangsa: Bahasa Indonesia Tidak Lagi Populer

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Hai, bagaimana hasil tes kemarin? Belum tahu, tapi saya sedikit nervous sama hasilnya”.

Coba perhatikan, sepotong percakapan ini terkesan biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari percakapan tersebut. Bagi masyarakat Indonesia, terutama di kawasan perkotaan, bahkan percakapan dengan selipan bahasa Inggris dipandang sebagai hal yang lumrah. Pertanyaannya, apakah benar percakapan ini merupakan representasi yang tepat bagi kita? Apakah selipan bahasa Inggris dapat mempermudah kita dalam berkomunikasi?

Dalam tulisan ini saya tidak akan mengajak anda untuk berdebat mengenai kedigdayaan budaya barat, jika bukan bahasa, terhadap budaya Indonesia. Secara lebih spesifik, saya akan mencoba mengajak anda untuk merefleksikan cara kita dalam berbahasa, dan mendiskusikan mengenai penyebab-penyebabnya.

Keagungan Indonesia

Indonesia. Bangsa yang besar dikarenakan keragaman budaya dan bahasa yang dimilikinya, begitulah yang seringkali orang katakan mengenai negara kita. Selain potensi alamnya, potensi budaya yang kita miliki, pada faktanya jauh berada di atas bangsa lainnya. Jarang memang terdapat penelitian yang secara gamblang menyebutkan hal ini, namun jumlah 1.128 suku bangsa yang Indonesia miliki (Survei Badan Pusat Statistik, 2010) pada dasarnya sudah cukup untuk menggambarkan pernyataan sebelumnya. Belum lagi adanya fakta bahwa jumlah bahasa dan dialek yang digunakan berjumlah lebih dari 580 macam. Tentunya kontribusi lanjutan dari keberagaman ini memiliki imbas beragam terhadap cara kita berbahasa.

Bahasa dan Toleransi

Adanya bahasa Indonesia seringkali dipandang sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dalam waktu beberapa dekade, kemudian bahasa Indonesia menjadi identitas pembeda antara bangsa kita dan bangsa lainnya. Benedict Anderson, Profesor dari Cornell University, secara tersirat memiliki pendapat yang sama terhadap kedua pernyataan tersebut. Tentunya untuk memahami lebih dalam pendapatnya, anda haruslah membaca berbagai penelitiannya terlebih dahulu, terutama mengenai Imagined Communities.

Motif awal dibentuknya bahasa Indonesia adalah agar segala perbedaan internal dalam cara berbahasa dapat diakomodasi, dan pada akhirnya dapat memudahkan setiap suku bangsa di tanah Indonesia untuk hidup berdampingan. Tidak dapat dipungkiri bahwa fakta yang ada memang menunjukkan bahwa aspirasi tersebut telah tercapai. Dari hal ini kemudian berbagai suku bangsa di Indonesia mulai dapat bertoleransi satu sama lain mengenai perbedaan-perbadaan budaya yang mereka miliki. Karena bahasa adalah jembatan utama untuk mengenalkan budaya.

Tantangan Milenium

Ketika satu puncak telah dicapai, tentunya semakin kencang pula angin yang menerpanya. Ini merupakan istilah yang tepat, jika anda merupakan salah satu orang yang menentang penggunaan bahasa Inggris sebagai selipan dari percakapan sehari-hari. Bahasa Indonesia yang telah mencapai titik puncaknya sebagai identitas nasional, kini menghadapi tantangan berupa subtitusi penggunaannya. Bahasa Indonesia yang sebelumnya digunakan untuk kebutuhan domestik sebagai pemersatu, kini disisipi oleh bahasa asing yang pada dasarnya kurang relevan dengan tujuan pembentukannya. Namun, benarkah ini merupakan sebuah ancaman?

Beragam alasan dapat disampaikan terkait isu ini, seperti: Kurangnya kosa kata dalam bahasa Indonesia yang sesuai dengan istilah yang ingin disampaikan; sudah terbiasa dengan penggunaan istilah dalam bahasa Inggris; maupun untuk alasan latihan berbahasa Inggris. Bahkan untuk kelas sosial tertentu, subtitusi penggunaan bahasa Indonesia seringkali dilakukan semata-mata untuk menjaga gengsi mereka. Tidak ada yang salah dari alasan tersebut, namun benarkah itu alasan sesungguhnya? Apakah bahasa Indonesia memang kurang efektif untuk digunakan? Atau, bahasa Indonesia sesungguhnya memang telah kehilangan popularitasnya di mata penggunanya?

Tantangan Berbahasa Indonesia

Globalisasi dan segala pendukungnya memang telah merubah cara kita berkomunikasi. Alat-alat elektronik pendukung komunikasi membuat ruang gerak komunikasi telah meluas hingga seolah tak memiliki batasan ruang. Dari sini kemudian terbentuklah suatu dimensi ruang yang mengakomodasi individu untuk dapat berkomunikasi dengan siapapun dan dimanapun individu tersebut berada. Keterampilan komunikasi dengan menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh individu lain di luar Indonesia, kemudian secara tiba-tiba menjadi sebuah keharusan.

Belum mapan di tahap tersebut, kita kemudian diharuskan untuk mampu berkomunikasi dalam berbahasa Inggris dikarenakan tuntutan studi maupun pekerjaan. Sekalipun masih banyak ruang untuk berkarya dengan menggunakan bahasa Indonesia, namun sulit untuk dibantah bahwa hampir segala lini dalam kehidupan kita pada era ini membutuhkan kemampuan dasar berbahasa Inggris. Semua ini tidak hanya bermula pada kurikulum dasar di sekolah, bahkan pada segi kehidupan lainnya, hampir dalam segala kesempatan membutuhkan kemampuan dasar berbahasa Inggris, mulai dari syarat mendaftar di suatu institusi pendidikan hingga institusi pekerjaan.

Indonesia sudah Siap!

Berbagai penjelasan ini terkadang terkesan rumit dan sukar untuk dipahami, namun inilah fakta yang terjadi. Terdapat pihak yang apatis, ada juga yang memilih untuk menciptakan gerakan-gerakan berbahasa dalam basis komunitas, disisi lain terdapat masyarakat yang melihat hal ini sebagai tantangan dan menyambutnya dengan suka cita dan memilih untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris mereka.

Jika ini semua dipandang sebagai permasalahan identitas, apakah memang identitas kita menjadi berkurang ,atau bahkan hilang, dengan maraknya penggunaan selipan berbahasa Inggris? Bukankah ini malah secara tidak langsung membuat kita menjadi bangsa yang memiliki wawasan berbahasa di atas rata-rata, dengan menguasai berbagai bahasa? Selain itu, bukankah kemampuan berbahasa ini dapat mempermudah kita untuk mengenalkan budaya dan nilai-nilai kita kepada bangsa lainnya?; Jika dipandang sebagai tantangan, apakah memang seharusnya kita melihat ini sebagai sebuah tantangan berbahasa dan berkomunikasi? Bukankah hal ini pada dasarnya cukup serupa dengan munculnya bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa? Hanya saja saat ini cakupannya tidak lagi nasional, maupun internasional.

Bangsa Indonesia pada dasarnya sudah siap untuk segala hal ini bahkan sebelum percepatan globalisasi akibat internet terjadi. Kita sudah terbiasa untuk hidup dalam tatanan masyarakat yang menggunakan lebih dari satu bahasa dalam percakapan sehari-hari, misal, percakapan bahasa Indonesia yang diselipkan dengan bahasa daerah, maupun sebaliknya, tanpa kehilangan kemampuan berbahasa Indonesia dan daerah. Jika kita mampu untuk melakukan hal ini, lalu kenapa harus muncul kekhawatiran mengenai hilangnya identitas?

Pada akhirnya, terlepas dari berbagai pandangan yang anda miliki, isu ini pada dasarnya harus kita pandang secara menyeluruh. Mudah memang untuk mengkambinghitamkan subjek tertentu, namun itu bukanlah tindakan yang selayaknya dilakukan oleh bangsa yang besar. Sebaiknya, mari kita secara bijak dapat menempatkan diri mengenai kapan dan dimana cara berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris sebaiknya dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline