Lihat ke Halaman Asli

Suyut Utomo

Travel | Content creator | Video | Writing

Dejavu di Peluncuran Buku 'Hidup Mati di Negeri Cincin Api'

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1355749399963304966

Seperti biasa ketika membuka laptop kesayangan yang telah terhubung dengan internet, saya log in ke akun email,  ada emailmasuk dari Kompas, yang isinya adalah undangan untuk peluncuran buku "Hidup Mati di Negeri Cincin Api'

Sempat bertanya-tanya kenapa saya dapat undangan,  mencoba menebak atas petanyaan itu,  dalam hati,  saya jawabsendiri pula,  mungkin saya pernah menulis tentang perjalanan di Gunung Merapi dengan motor kesayangan saya (dan  alhamdulillah tulisan itu menjadi juara  2   Lomba Ekspedisi Cincin Api Periode IV

Acara ini dimulai pada pukul 18.30, di Bentara Budaya Jakarta-Palmerah Selatan No.17 pada 12-12-2012, mungkin ini adalah tanggal yang unik untuk peluncuran buku ini.  Sampai di lokasi jam pukul 17.00, saya lansung menuju Lobby Gd. Kompas Gramedia, karena di tempat itu di gelar pameran fotografi, ya hasil foto-foto dari ekspedisi Cincin Api Kompas, yang dibidik oleh beberapa photographer-nya, antara lain Heru Sri Kumoro, Iwan Setyawan, Eddy Hasby, Wawan H Prabowo, itu beberapa nama yang saya lihat di keterangan setiap photo.

Saya sendiri merasa merinding melihat hasil photo-photo tersebut, entah mengapa.  Mungkin sebagai yang hobi traveller khususnya daerah pegunungan, saya merasa berada di lokasi dengan melihat photo-photo itu, dengan mencoba merasakan perjuangan perjalanan tim ekspedisi untuk mencapai tiap lokasi, dan mendapat 'bonus' dari perjalanan itu dengan menikmati ciptaan-Nya disertai dengan  kekayaan budaya di negeri ini.

[caption id="attachment_230076" align="aligncenter" width="590" caption="saya dan karya dari Iwan Setiyawan"]

13557497331308609427

[/caption] Jam 18.30, menuju tempat peluncuran buku, melakukan registrasi ulang, terdapat bebagai macam kategori undangan di sini, dan saya mendapat kategori 'blogger'.  Setting tempat dengan lampu tidak terang alias remang-remang, dengan bangku panjang dari kayu seperti diwarung makan, menghadap panggung acara, dengan hindangan di sebelah kiri, seperti sedang ada resepsi pernikahan saja, hehe..  Dan Acara baru dimulai jam 19.00. [caption id="attachment_230077" align="aligncenter" width="448" caption="suasana acara"]

13557499291569650915

[/caption] Acara dibuka dengan slide show photo-photo selama ekspedisi, yang sebenarnya sudah saya lihat di pameran photography sebelumnya, tapi saya tetap saja tecengang melihatnya. Selanjutnya kata sambutan dari pemimpin redaksi Kompas , Rikard Bagun. Beliau menceritakan tentang apa Ekspedisi Cincin Api ini. Ekspedisi ini berlangsung selama satu tahun (september 2011 - oktobe 2012) melibatkan para ahli seperti geogolog, ahli botani, vulkanolog, tim Litbang Kompas, fotogafer, juru kamera TV, desainer infografis, yang bersama-samamendaki lebih dari 25 gunung dan menjejakan kaki di empat pulau terbesar di Indonesia.

Sehabis ini  Dr Surono, Kepala Pusat Vulkonologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM atau yang akhir-akhir ini akrab di panggil dengan mbah Rono naik kepanggung, beliau bercerita tentang per gunungan di Indonesia khususnya, dan serba-serbi ketika menjalani profesinya ini. Dengan logat jawanya yang kental, cerita-cerita sangat menarik untuk di ikuti. Satu ungkapan yang saya ingat dari mbah Rono  pada waktu itu adalah, "Gunung itu memberi tanpa menerima, coba aja lihat gedung-gedung, jalan beton, dibangun dari hasil muntahan gunung tapi gunung tidak pernah menikmatinya kan? ketika terjadi bencana gunung, sebenarnya gunung sedang menggunakan ruang dan waktunya"

Hadir juga pihak sponsor dari ekpedisi ini, CEO Budi Hartono dari PT Djarum Kudus. Di akhir pembicaraannya dipanggung, beliau 'menantang'  tim ekspedisi untuk melakukan hal serupa, setelah kemarin di darat (gunung) mungkin selanjutnya akan mengeksplore kekayaan laut negeri ini.

Setelah diselingi penampilan musisi asal Yogyakarta, yaitu Krisna band, yang kebetulan anggota tinggal di daerah rawan bencana gunung Merapi, lagu-lagunya pun becerita tentang alam sekitar dan kepeduliannya.

Sehabis ini dilanjutkan dengan menampilkan anggota tim ekpedisi, Ahmad Arif selaku ketuanya menuturkan bahwa "semoga buku ini menambah kesadaran masyarakat tentang kondisi alam Indonesia yang bukan hanya menjadi sumber kehidupan, tetapi juga menjadi sumber bencana" .

[caption id="attachment_230081" align="aligncenter" width="448" caption="Tim Ekspedisi"]

1355750480836619530

[/caption] Dan acara puncak adalah peluncuran buku "Hidup Mati di Cincin Api", semua tokoh dalam ekspedisi naik panggung dan diberi buku tersebut. Buku seharga normal 198.000 IDR ini terlihat ekslusif, saya sendiri tidak melihat apa isi dari dalam buku itu, dan tidak bisa me-reviewnya disini, walaupun saat itu ada harga khusus alias diskon untuk pembelian bukunya, tetap saja uang saku saya tidak cukup untuk meminangnya, hehe.. [caption id="attachment_230082" align="aligncenter" width="448" caption="Penyerahan Buku"]

1355750606448576086

[/caption] [caption id="attachment_230084" align="aligncenter" width="298" caption="bersama mbah Rono :)"]

13557509481003850949

[/caption] Hampir jam 21.00, saya pun meninggalkan lokasi dengan berbagai pemahaman setelah mengikuti acara ini. Indonesia yang memiliki 127 gunung aktif ini, adalah anugerah sekaligus harus waspada terhadapnya ketika gunung-gunung tersebut 'meminta ruang dan waktu'.

Sebelum merantau ke Jakarta, saya sendiri dan keluarga  hidup diderah rawan bencana Meapi, Yogyakarta. Jarak rumah dengan puncak Merapi jika ditarik garis lurus dari google map berjarak 13 km, beberapa kali mengalami kepanikan ketika Merapi mempunyai 'hajat'.

Yang terakhir adalah Oktober 2010, saat itu walaupun saya tinggal di Jakarta tapi setiap saat memantau lewat berita di media masa, menghubungi lansung keluarga di sana tentang kondisi terakhir ketika Merapi punya hajat. Dan puncaknya tanggal 10 oktober, mendengar jika Merapi mengeluarkan muntahan terbesar, tanpa pikir panjang saya lansung bergegas untuk pulang ke Jogja, sedikit lega karena keluarga sudah mengungsi ke tempat yang aman.

Sampai di Jogja saya menuju rumah, hampir tidak mengenali daerah  ini adalah tempat saya tumbuh besar dahulu, seluruh tempat bewarna ke abu-abuan, dengan pepohonan tumbang tidak kuat menahan muntahan material Merapi, perkebunan salak pondoh yang merupakan tempat mencari nafkah utama, porak poranda tidak karuan.  Dan kami pun mencoba iklas dan pasah atas ini.

Sekali acara ini mengingatkan kepada saya untuk bisa waspada jika Merapi yang 'menghidupi' kami dengan tanah yang subur untuk menanam salak pondoh, juga menyimpan bahaya yang siap mengancam. Menyadarkan bahwa ini adalah siklus yang kan terjadi kembali di masa depan.

"Kisah tentang negeri zamrud khatuliswa yang diberkahi alam nan subur semestinya dilengkapi kisah tentang jalur gempa dan "Cincin Api" yang melingkari negeri. Kita harus membuka kembali pengetahuan lama yang dibangun leluhur negeri selama ribuan tahun, serta mencari inovasi baru untuk bersiasat hidup di tanah bencana ini.." Itulah seuntai kalimat yang tercantum dalam buku Ekpedisi Kompas "Hidup Mati di Negeri Cincin Api"  (saya salin dari berita pers acara ini)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline