Lihat ke Halaman Asli

Kongres, Djohar Arifin, dan Konsorsium

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Saya tertarik dengan opini yang ditulis saudara Andi Mustari Hersandy yang berjudul PSSI Laksanakan Kongres dengan keterangan di awal ( Mengapa Djohar Melanggar Statuta  ) ? Menurut saya, intinya ada dua yang diketengahkan. Pertama, PSSI kepemimpinan Djohar Arifin melanggar statuta PSSI era Nurdin yang disahkan FIFA saat Nurdin masih memimpin PSSI, yang sampai saat ini masih berlaku karena belum diubah. Lebih lanjut, jika kebijakan PSSI dikeluarkan harus melalui mekanisme kongres. Kedua, masalah konsorsium yang ada kecenderungan monopoli kompetisi yang hanya dipegang konsorsium saja.

Permasalahan pertama, jika mengikuti alur pikir saudara Andi Mustari, maka, seharusnya kepengurusan PSSI Djohar melakukan kongres, apapun kebijakan yang diambil. Hal ini mungkin saja ada benarnya. Namun, jika mengikuti logika saya, sebelum dipilihnya Djohar Arifin sebagai Ketua, sudah berapa kali kongres dilakukan PSSI dalam tahun 2011? Lebih dari satu kali bukan?

Di sisi lain, laporan pertanggungjawaban kinerja dan keuangan tidak ada dari pengurus lama, defisit anggaran PSSI, peninggalan utang PSSI dari kepengurusan sebelumnya, apakah tanpa anggaran bisa melaksanakan kongres sementara untuk mengadakan kongres membutuhkan uang yang tidak sedikit? Untuk melaksanakan kongres pun tidak bisa dalam waktu singkat. Apakah harus minta kepada pengusaha? Bagaimana dengan persiapan Timnas sendiri? Aneh jika itu dilakukan. Kondisi PSSI sendiri pada waktu itu extra ordinary.

Permasalahan kedua, masalah konsorsium. Definisi konsorsium memang seperti itu. Lalu, jika seluruh klub diminta untuk professional, lepas dari APBD, menjadi perusahaan murni yang bertujuan mencari keuntungan, apakah sangggup mereka dilepas sendiri? Saya yakin tidak sanggup. Bisa dibayangkan yang puluhan tahun disubsidi uang negara, tiba-tiba harus dipaksa untuk jadi perusahaan sendiri yang mandiri. Tak akan siap. Di sisi lain, kriteria kompetisi professional yang digariskan FIFA dan AFC sudah menuntut hal itu. Oleh karena itu, untuk menyikapi kesukaran ini, diadakanlah konsorsium. Jika suatu saat, mereka bisa mandiri sendiri, dan pinjaman uang dari konsorsium sudah terlunasi, maka, sudah selayaknya, konsorsium ditiadakan, kecuali ingin memiliki satu klub tertentu, tanpa menguasai seluruhnya.

Terkait dengan nama-nama tokoh yang Anda anggap layak sebagai pimpinan PSSI, anda mungkin tahu latar belakang beberapa di antara mereka. Bagaimana keterkaitan mereka dengan yang berbau-bau politik. Atau keterkaitannya dengan yang anda sebut Nurdin cs itu. Bukankah, kita semua menginginkan pengurus sepakbola lepas dari kaitan politik, seperti yang Anda uraikan dalam Pedoman Dasar PSSI itu.

Bagaimana jika saat ini, kepengurusan saat ini adapula anasir politik dan TNI-nya? Jika pengurus sekarang tidak punya itu, maka saya tidak yakin, kepengurusan Djohar Arifin bisa bertahan dari serangan KPSI. Ini kondisi yang tidak ideal memang, tapi perlu dimaklumi dengan kultur kehidupan Indonesia yang “begini”. Kenyataannya seperti itu, walau ke depan, mungkin tidak perlu lagi diaplikasikan.

Lalu, perlukah melakukan KLB? Perlu, jika pihak yang mengusungnya memang benar-benar ingin memajukan sepakbola Indonesia, tetapi jika tidak, yakinkah kita bahwa kongres itu menjadi jalan keluar yang nantinya membuat semua kondisi yang diinginkan insan sepakbola Indonesia tercapai? Saya sendiri tidak yakin, jika melihat siapa yang mengusungnya. Tidak boleh apriori memang, tapi, jika yang mengusungnya sudah terlihat track record di masa lalu, bagaimana bisa berbaik sangka?

Hal yang sama juga dengan kepengurusan Djohar Arifin, bagaimana kita bisa meragukan beliau, jika belum terlihat track record yang benar-benar rusak fatal? Masalah Status quo dan bukan status quo sebenarnya tak perlu Anda katakan pada Djohar Arifin, karena nama-nama yang Anda ajukan sendiri, beberapa diantaranya, bukankah dari status quo era Nurdin Halid?

Jika kita menginginkan kompetisi yang ideal, maka setiap klub peserta liga seharusnya perusahaan yang dimodali oleh orang-per orang yang punya duit, konsorsium, atau perusahaan terbuka yang dimiliki oleh para pemegang saham. Tanpa monopoli, tanpa pemodal itu memiliki banyak klub (monopoli) dalam satu kompetisi di satu negara. Tak ada yang namanya pengprov atau pengda PSSI. Semua pembibitan pemain dilakukan oleh klub. Saya berharap hal itu bisa terwujud. Tapi, tidak mungkin dalam waktu dekat. Sebab, jika menginginkan hal itu terjadi, maka peraturan keolahragaan nasional harus direvisi.Masih banyak PR untuk menggapai kondisi yang ideal itu.

Laporan pertanggungjawaban kinerja dan keuangan yang transparan dan akuntabel juga mutlak harus dilakukan. Untuk laporan keuangan yang transparan dan akuntabel sebenarnya sudah dilakukan pengurus PSSI sekarang, bekerjasama dengan BPKP.

Saya sendiri prihatin dengan kondisi sepakbola Indonesia saat ini. Tak ada seorangpun yang lepas dari salah, namun saya lama-lama bisa melihat mana orang-orang yang ingin memajukan sepakbola, dan mana orang-orang yang ingin menguasai kepentingan perorangan atau kelompok terlebih dahulu, sementara memajukan sepakbola urusan belakangan.

Percuma saja jika semua mengatasnamakan taat hukum tapi niatnya tidak lebih baik dari kucing yang memakan ikan lele goreng tanpa mengeong, meminta ijin kepada si empunya, atau orang lain. Walau hal itu bukan berarti menjustifikasi bahwa kita tidak perlu mentaati pada aturan yang berlaku.

Lalu, bagaimana solusinya agar kisruh sepakbola nasional ini bisa diselesaikan dengan baik? Sulit, jika masing-masing pihak tidak ada yang mengalah, atau pihak KPSI tidak mau memberikan waktu Djohar Arifin bekerja sampai masa kepengurusannya berakhir. Tapi, di sisi lain, untuk masalah dualisme klub dan hal lainnya, mungkin bisa diselesaikan secara hukum, seperti kasus calciopoli di Italia. Tapi, itupun dibutuhkan kelapangan dada jika putusan hukum dijatuhkan. Jika tidak, maka cerita ini akan berlarut-larut. To be continued terus…

Kita lihat saja bagaimana cerita ini berakhir..karena tak ada cerita tanpa akhir...

Salam damai dan salam kenal…..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline