Lihat ke Halaman Asli

Pemilihan Pejabat Negara Harus Selektif

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terjadi dengan mantan Ketua BPK HP membuat banyak orang tercengang kaget. Bukan apa-apa, pas saja hari berakhirnya masa jabatan sebagai Ketua BPK, sore harinya, HP ditetapkan sebagai tersangka. Tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu terhadapnya.

Kasus yang menjerat memang bukan saat menjabat sebagai Ketua BPK, tetapi dulu, saat menjabat Dirjen Pajak. Deskripsi kasusnya sudah berceceran di berbagai media, termasuk kompasiana. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kenapa baru sekarang kasus ini diungkap ke permukaan? Padahal kasus ini sudah sekitar 10 tahunan berlalu.

Walau jauh dari kata kadaluarsa, tetap saja aneh. Kalau memang Kementerian Keuangan sudah mengendusnya sejak lama, kenapa baru sekarang? Atau, seperti di pemberitaan bahwa KPK sudah mulai melakukan penyelidikan sejak tahun 2012-an. Kenapa harus menunggu sampai April 2014? Selama itukah penyelidikan baru menemukan dua barang bukti yang cukup kuat?

Atau, karena masih menjabat sebagai Ketua BPK? siapapun yang terkait tindak pidana dengan bukti cukup, tentu tidak akan kebal hukum, tak terkecuali pejabat di BPK. Undang-undang mengatur itu. Tentu pemasok bukti atau data (whistleblower) ke KPK lebih tahu, kenapa ia ungkap sekarang.Ini mengingatkan juga pada  kasus yang menimpa penyidik KPK, Novel Baswedan yang juga dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian karena perbuatannya di masa lalu.

Karena keanehan ini, kemudian muncul dugaan-dugaan yang bersliweran. Bahwa, dijadikannya HP sebagai tersangka karena ada kaitannya dengan hasil pemeriksaan atas kasus Bank Century lah, Hambalang lah, dan hasil pemeriksaan atas kinerja KPK lah. Intinya, ada suasana politis yang membuat HP ditetapkan sebagai tersangka. Belum ada fakta yang jelas ada kaitannya dengan dugaan-dugaan itu. Tapi, tetap penetapan Hadi Poernomo terasa janggal.

Walau sudah purna tugas dari BPK, tetapi tetap corengan aib juga mengena ke BPK sebagai institusi. Kenapa bisa sebuah lembaga negara yang dianggap menjadi panutan, memeriksa keuangan negara, dan selalu gembar-gembor dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas malah dipimpin oleh orang yang punya riwayat kerja negatif. Itu kalau memang terbukti benar ia "tidak bersih". Sudah sejak lama memang HP dicap bukan orang bersih selama di Ditjen Pajak.Terlepas dari nanti kelanjutan kasus yang ditangani KPK ini, tudingan HP "tidak bersih" sebenarnya sudah mengemuka ketika ia mencalonkan diri sebagai Anggota BPK, 2009 silam. Toh, akhirnya, ia terpilih juga sebagai Anggota BPK yang kemudian dipilih sebagai Ketua BPK.

Selain kasus ini, kasus yang paling memalukan dan mencoreng benar adalah tertangkap tangannya Ketua MK AM. Kasus suap-menyuap yang dilakukan justru pada saat ia sebagai pimpinan, hakim konstitusi MK. Sudah tertangkap tangan di rumah dinas, dilakukan di mana ia menjadi Ketua lembaga negara yang juga dianggap paling berwibawa ini.

Dua kasus tersebut mungkin hanya serpihan saja bahwa ada pejabat negara terhadang kasus pelanggaran hukum. Banyak orang justru menyoroti negatif lembaga-lembaga yang dipimpin pejabat terkait. Menyoroti juga harta kekayaan mereka yang melimpah ruah. Tapi, lupa bahwa sebenarnya ada hal yang paling penting. Hal yang tidak harus selalu represif, tetapi preventif. Hal yang sangat penting itu adalah pemilihan pejabat negara. Ini yang selalu muncul-tenggelam atau bahkan terlupakan banyak orang.

Secara umum, pemilihan pejabat negara, atau pimpinan lembaga negara melalui mekanisme fit and proper test di DPR. Mekanisme seperti inilah yang seharusnya disorot dan dikritisi. Sebab, model pemilihan seperti ini, tidak lagi mementingkan integritas dan kapabilitas seorang calon, tetapi lebih kepada lobi-lobi transaksional yang mungkin disertai money politic. Kecenderungan transaksi negatif sangat kental di sini. Apalagi banyak orang juga tahu, secara umum, seperti apa kelakuan anggota DPR sampai saat ini. Dengan pemilihan pejabat model begini, maka produk yang didapat juga tidak benar-benar berkualitas. Terutama dari sisi integritas.

Oleh karena itu, pemilihan pejabat negara sebaiknya meminimalisir persentuhan dengan DPR. Dalam artian bukan menampikan peran DPR, tetapi mengurangi praktik-praktik transaksional pemilihan pejabat negara di DPR sendiri. Pemilihan komisioner KPK salah satu model yang cukup realistis. Para calon dijaring dulu oleh panitia seleksi yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, cerdik-cendikiawan yang tidak diragukan lagi integritas maupun keprofesionalannya. Hasil seleksi tersebut, akan muncul nama-nama calon yang sudah teruji integritas dan kemampuan profesionalnya. Kemudian baru diserahkan ke DPR untuk diseleksi tahap akhir. Dengan model seperti ini, akan mengurangi ruang gerak praktik-praktik transaksional antara calon dan anggota DPR. Atau, bisa juga dengan model lain yang intinya meminimalisir praktik-praktik "transaksional kotor" dalam pemilihan calon pejabat negara.

Hal yang perlu disorot lainnya terkait dengan pemilihan pejabat negara adalah adanya orang-orang partai politik, "orang DPR" memasuki jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga negara. Jika 'orang-orang politik" masuk memimpin sebuah lembaga negara, akan sangat rawan dengan kepentingan politik saat berada di lembaga-lembaga negara tersebut. Itu baru dari sisi kepentingan. Belum masalah kapabilitas. Karena, memimpin sebuah lembaga negara bukan hal yang mudah. Butuh juga orang yang punya pengalaman memimpin sebuah instansi atau organisasi, selain tentu kemampuan yang mumpuni di bidangnya. Memimpin sebuah lembaga negara bukan melulu soal lobi, "cecet-cowet", dan pandai merangkul media. Tapi modal yang terpenting adalah punya visi dan misi membangkitkan semangat dan kinerja pegawai dan kinerja lembaga secara institusi. Dan, itu sulit dilakukan kalau "orang-orang politik" memimpin sebuah lembaga negara. Sebab, selain masalah kepentingan politik, "orang-orang politik" biasanya tidak punya pengalaman memimpin organisasi yang besar atau kemampuan manajerialnya belum cukup baik. Belum lagi kemampuan di bidang dimana menjadi tugak pokok dan fungsi lembaga yang bersangkutan. Dan, itu juga belum bicara soal integritas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline