" Sambilan puluah, sambilan limo, saratuih. Aden dapek saratuih, ang bara ? (sembilan puluh, sembilan lima, seratus. Aku dapat seratus, kamu dapat berapa ?), teriak seorang anak laki-laki suatu siang sambil merapikan beberapa lembar uang lima ribuan di tangan kirinya.
" Samo lah tu berarti, awak kan sarangkek payi cako " (sama aja kok, kita kan berangkatnya bareng tadi ), kata anak di sebelahnya menimpali. Demikian sebuah fragmen dialog singkat dua orang anak di hari Lebaran.
Sekelompok anak laki-laki berusia tujuh sampai sebelas tahun duduk bersantai di pelataran masjid pada suatu siang. Selepas menunaikan shalat Zuhur di masjid, mereka sibuk menghitung dan merapikan segepok uang lima ribuan hasil dari " manambang " pada hari pertama Lebaran.
Dalam bahasa Minang, kata manambang dimaknai sebagai aktifitas mencari rezeki dengan menjadi supir angkuatan umum. Baik supir angkot maupun supir bus antar kota. Bekerja menjemput dan mengantarkan penumpang sampai ke tujuan mereka dan menerima bayaran sebagai jasa.
Namun pada hari Lebaran, kata manambang juga dipakai sebagai istilah dari kegiatan berkunjung anak-anak kecil seusia SD dimana mereka juga menerima " angpao " di tiap rumah yang dikunjungi.
Berikut penulis bercerita sedikit tentang acara manambang di kampung penulis di selatan kota Bukittinggi, Sumatra Barat.
Di tempat kami,kegiatan manambang ini lazim dilakukan dalam kelompok besar. Anak lelaki bergabung dengan sesama lelaki, dan yang perempuan pun juga begitu. Biasanya, sehari sebelum Lebaran anak-anak ini sudah membuat kesepakatan dimana mereka akan berkumpul.
Manambang dimulai setelah shalat Id. Ya, sekitar jam 9 pagi. Setelah berpamitan pada orang tua, anak-anak ini berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan segera bergerak setelah semua anggota berkumpul.
" Assalamu'alaikum, " ucap mereka serempak mengucapkan salam pada tiap rumah yang dikunjungi.