“Buuuuussss…usss…” Perlahan aku langsung menyingkir dari kerumunan teman-teman kantorku. Pelan tapi pasti aku menjauh dan pura-pura menerima telepon, meski Ponselku sama sekali tidak berbunyi atau bergetar tanda panggilan masuk.
Berani sumpah, kehebohan pasti akan terjadi. Melebihi kehebohan penundaan kenaikan gaji di kantor ini, atau bahkan lebih heboh lagi dibandingkan dengan uji nuklir Korea Utara. Bahkan mungkin jauh lebih heboh dibandingkan dengan skandal seks anggota DPR.
“Wedhus, siapa yang kentut? Badheg, coro tenan,” itu omelan yang pertama aku dengar dari mulut Alex, sang “penggemar” binatang, karena kalau mengumpat nama hewan satu kebun binatang bisa dia sebut semua.
“Hueekkk… cuh…hoekk..! Nggilani..,” sahut Bobi.
“Aku ndak lho,” suara halus Putri agak malu-malu.
“Aku juga enggak,” sanggah Udin Marudin.
“Aku ya enggak lho...,” aku berteriak memecah keramaian mereka yang sedang pusing tujuh keliling menghirup aroma sedap kentutku.
Hi..hi..hi… Ya aku berbohong lagi. Kalau aku ngaku, terus terang aku malu dengan Putri, Amy Bunga Keputri, gadis idamanku. Putri adalah gadis termanis dalam benakku, dia berkulit kuning langsat, berhidung bangir, bermata lebar layaknya cewek dalam kartun manga dan berambut panjang seperti rekaan bidadari dalam cerita rakyat Joko Tarub.
“Maapin aku ya.. Put. Kentutku sudah membuat kamu terbang kembali ke Khayangan,” batinku.
Bukan sekali ini saya aku sukses memecah keguyuban teman sekantor, atau siapa pun yang ada di sekelilingku. Bak Bom Atom Hiroshima, semua bisa langsung “terkapar” jika gas aneh dalam perutku ini keluar tak tertahankan. Aku memang tak pernah bisa menahan kentutku, mungkin “klep” bokongku memang agak dol.
Dan, ingin rasanya aku menawarkan “kelebihanku” yang satu ini ke angkatan bersenjata Amerika. Pasti bisa dipakai sebagai bahan baku bom biologi. Busuk, bikin mules muntah, tapi tak mematikan. Orang-orang Irak, Afganistan atau para teroris Melayu dijamin tak akan tahan jika menghirupnya.
Atau mungkin bisa aku tawarkan ke polisi dalam negeri. Ya, polisi bisa memakai ini sebagai bahan baku bom untuk membubarkan aksi-aksi mahasiswa, aksi buruh, aksi petani atau aksi-aksi demonstrasi lainnya. Aku yakin tak ada yang tahan mencium campuran bau telur busuk, plus bau belerang, sampah organik, sedikit bau duren, dan aroma rendaman karet yang baru disadap. Wuihhhh, dijamin semaput.
Sejak kenal dengan Putri sebetulnya semaksimal mungkin aku mencoba mengendalikan gejolak gas di ususku ini. Bahkan aku sisihkan gajiku untuk berkonsultasi ke dokter. Awalnya aku cari dokter spesialis kentut tapi tak ada dokter semacam itu. Akhirnya aku putuskan datang ke dokter umum yang membuka praktik di sebuah apotek tak jauh dari kantorku.
“Mas Panji, kentut itu manusiawi. Jangankan yang hidup, sesaat setelah mati, manusia pun bisa kentut. Jadi mayat bisa kentut,” jelas Dokter Agung.
“Tapi, Dok! Kentut saya baunya itu lho. Berbunyi tidak nyaring tapi memusingkan. Saya tak pernah bisa menahannya. Kalau perut sudah kruwel-kruwel, dus, lega dan ‘sedap’. Minder saya, Dok!” jawabku.
“Hhhmm..hhmm..hhmm… Jadi gimana? Kamu mau kentutmu berbau harum, seharum bunga-bunga di surga?”
“Tidak. Saya Cuma ingin Putri bisa ‘menikmati’ kentut saya. Ya, Putri, cewek jeron Beteng yang sudah mendorong saya datang ke sini. Katanya dia anak priyayi, Dok.” Dokter Agung hanya tersenyum penuh makna tapi aku tak paham apa.
Jujur aku tak mendapatkan sesuatu yang aku harapkan dari dokter itu. Yang aku dapatkan Cuma beberapa penjelasan teori dan penyadaran betapa flatus, begitu sang dokter menyebut kentut, adalah sesuatu yang manusiawi. Sama halnya seperti kencing, sendawa, bersin dan lain sebagainya. Meski demikian beberapa saran Pak Dokter akan aku praktikkan. Semua aku lakukan demi Putri-ku.
***
“Halo Mas Panji.”
“Ha..hai..,” jantungku berdegup tak beraturan. Putri sudah duduk di depanku, satu tanganya menyangga dagu sedangkan satu tangan lainnya dijatuhkan begitu saja di meja dan matanya melirik kea rah piring makananku.
“Lagi makan apa?” katanya.
“Gado-gado. Kamu kok nggak makan?”
“Lho kok nggak pakai telur? Mas Panji kan paling suka telur,” Tanya Putri membalas tanyaku.
“Sudah nggak suka. Aku lagi belajar menjadi vegetarian. Katanya lebih sehat.”
Putri tiba-tiba berdiri sambil menunjuk kea rah warung Mbok Darmo. Sambil tersenyum dia membalikkan badan. Tak sedetik pun aku melepaskan pandangan ke arahnya. Ah,… senyumnya manis, manis sekali, menggedor-gedor hatiku. Lambaian tangannya halus, sehalus gerakan penari Bedhaya Ketawang penuh makna mengiringi irama. Semua sempurna di mataku: rambutnya, lehernya, bahunya, pinggulnya, bokongnya. Upphfff…, bokongnya? Aku langsung teringat dengan bokongku, terompet bentuk aneh yang selalu menghasilkan gas berbau aneh pula. Keindahan Putri pun sirna seiring terhapus buaian kekhawatiran bokongku. “Ah, Putri…”
Andai Putri tahu aku telah berpantang makan telur, makan daging termasuk sate kambing kesukaanku dan kacang-kacangan, semua kulakukan demi dia. Tak peduli aku kekurangan protein dan lemak, yang terpenting bakteri di dalam ususku tak mampu menghasilkan hidrogen sulfide dan merkaptan yang busuk. Aku juga tak member pasukan bakteri itu berpesta rafinosse, stachiose, verbascose dan gula-gula lain yang berasal dari kacang-kacangan. Ini agar sedikit dihasilkan gelembung-gelembung udara di ususku. Logika sederhana tak ada gelembung maka tak aka nada gas-gas bahan baku flatus.
***
Andai Putri tahu, aku kini lebih bisa menikmati makanan karena aku mengunyahnya dengan perlahan hingga lebur, sehingga pencernaan akan berjalan sempurna. Aku juga menjadi lebih protelar karena aku berpantang meminum soft drink apalagi sofdrink produk Negara kapitalis. Semua aku lakukan agar tidak terjadi ekspansi gas secara mendadak dan berlebihan di perutku yang berpotensi memunculkan flatus. Ya, lagi-lagi semua demi Putri.
Entah mengapa satu bulan setelah nglakoni alias berpantang, aku lebih percaya diri. Jika aku bertemu Putri aku tak canggung lagi dan ehmm… tak lagi risih memandang bokongnya. Memang aku belum membuktikan apakah kualitas aroma flatus-ku sudah membaik, karena aku belum lagi kentut di tengah-tengah keramaian. Tapi kalau aku cium-cium sendiri, heihppppp…hpp.. ehmm sudah lumayanlah, tapi mungkin juga karena aku sudah terbiasa dengan aroma flatus-ku.
Karena itulah aku tak menolak ketika Alex mengajakku dolan ke rumah Putri. Alex juga menyukai Putri. Tapi aku yakin Putri tak menyukainya. Maklum omongannya lebih jorok dibandingkan dengan bau ketutku.
Putri menyambut kami di depan pintu rumah saat Alex membuka pagar rumah. “Ayo sini,” katanya ramah. Aku bergegas lebih cepat. harapannya agar aku bisa memilih kursi strategis yang berdekatan dengan Putri tentunya.
“Sendirian, Put?” Alex membuka basa-basi.
“Ah enggak, sama Papa. Itu di dalam. Mau ketemu?”
“Mau, mau, boleh juga dikenalkan,” kataku sambil memandang Alex.
Putri lalu berjalan menuju sebuah ruangan yang tak tampak daru ruang tamu. Tak lama, terlihat sosok lelaki kelimis dan tampak terpelajar.
“Kenalkan ini Papa saya.”
Oh.. tiba-tiba kepalaku sangat pening, mataku sayu, pandanganku kabur, ototku lemas, jantungku berdebar serasa mau copot, keringatku berhambur keluar bak semburan Lumpur Lapindo yang enggan berhenti. Kupaksa kuulurkan tanganku. “Pa..Pak Dokter Agung ya…”
“Iya, Anda siapa? Ehh,.. sebentar coba saya ingat-ingat.”
Kepalaku pun kian pening, pening dan super pening, seakan ratusna kilo ton gas flatus berjejal masuk melalui hidung dan mulutku lalu menyumbat pernapasanku. Gas-gas busuk itu lantas meremukkan otakku, dan berayun-ayun di kamar-kamar kanjungku sambil menonjok-nonjok hatiku. Gas-gas busuk itu juga meloyokan otot-ototkum membutakan mataku, meracuni indera pembauanku dan menelanjangiku nudis. Kini aku hanya bisa mendengar suara itu, “Amy..Amy teman kamu kenapa?”
Kartasura, Oktober 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H