Teriknya matahari Ibu Kota Jakarta tidak menyurutkan langkah saya untuk menghadiri persidangan Anas Urbaningrum pada kamis, 4 september 2014 di pengadilan Tipikor Kuningan Jakarta Selatan. Sesampainya disana kebetulan sidang baru saja dimulai. Saya penasaran, selama ini hanya menyaksikan pemberitaan Anas Urbaningrum melalui media dan tayangan televisi. Kasus Anas Urbaningrum begitu heboh menjadi pemberitaan media, setelah KPK resmi menjadikan Anas tersangka pada jum’at 22 februari 2013. Sudah setahun kasus Anas bergulir di media, publik pun makin penasaran dengan kebenaran dakwaan KPK. Anas Urbaningrum diduga menerima gratifikasi proyek Hambalang dan proyek-proyek lainnya, itulah yang dipasalkan pada Anas Urbaningrum.
Dakwaan JPU KPK begitu serem dan menakutkan, bermula dari pengakuan Nazaruddin pada persidangan dirinya di akhir Oktober 2010, saat diperiksa oleh KPK, Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai Demokrat itu mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya bersama Anas ikut terlibat mengatur proyek Hambalang sejak awal. Dia menyebut Anas sejak awal ikut mengatur proyeknya. Dimulai dengan mendapatkan sertifikat lahan proyek hingga berujung masalah.
Pada persidangan yang saya hadiri justru berbanding terbalik dengan isi dakwaan, saat itu JPU KPK menanyakan: “Apakah saudara kenal yang namanya bule (tante) Apik? Nama orang itu, bule Apik”. Anas pun menjawab “Ya kalau bule’ saya tahu yang mulia, tapi saya tidak punya bule’ (tante), bapak saya itu punya saudara perempuan kakaknya jadi bude’, bude’ Siti namanya, ibu saya itu anak tunggal, kalau bule’ itu tidak ada pada saya”. Lalu JPU mengatakan “nggak kenal ya? Jadi gini, ijinyang mulia, ini ada BlackBerry yang disita dari rumahnya Anas, ini atas nama Atiyah Laila, isteri saudara ya, kemudian ada suatu SMS yang masuk, dari nomer +6281328057xxx, tanggalnya 8 februari 2011, pukul 07:39 pm. Mohon ijin yang mulia, saya bacakan: - Assalamualaikum, alham (ada 4) alham4lli. Tiya, aku bule’ Apik, mimpi apa aku oleh rezeki tiba-tiba, min haitsu laa yahtasib lagi buntu-buntune ora iso mikir, ujuk-ujuk ono mba Dina, aku wis deg-degan, biasane Dina iki selalu bawa kesenenganku yaiku duit, lah iki ora meng duit, tapi dolar. Wah kagetku nganti jungkil ngelewihi dipiti mugo-mugo dadi amal jariahmu, mugo-mugo Anas jadi Presiden, aku arep ngirim sema’ansa’ Qur’an ganjarane tak hadiah’e Anas sakluagro, sebab aku ora biso bales opo-opo, kejobo didonga’ke, matur nuwun pol yo ya’ (Assalamu’alaikum, alhamdulillah, Tiya, saya tante Apik, mimpi apa saya dapat rezeki tiba-tiba, min haitsu laa yahtasib, sedang buntu-buntunya tidak bisa berpikir, mendadak ada mba Dina, saya sudah deg-degan, biasanya Dina itu selalu membawa kesenangan saya, yaitu uang, nah ini bukan saja uang, tapi dolar, wah, saya kaget sampai lompat, mudah-mudahan ini menjadi amal jariah kamu, mudah-mudahan Anas jadi Presiden, saya akan kirim bacaan al-Qur’an pahalanya saya hadiahkan Anas sekeluarga, sebab saya tidak bisa membalas apa-apa, kecuali do’a, terima kasih banyak ya)”.
Kemudian JPU KPK membacakan kembali SMS yang sama (di forward) dari pengirim yang berbeda dan membacakan SMS lain dari Nimyar Mahtiar “Kami sangat siap dukung mas Anas jadi Presiden mendatang, dengan segenap doa dan restu, apa perlu mulai sekarang para santri mujahadah (berdoa) khusus dan ikhitar tanda dukungan kami dari hati yang terdalam tanda dukungan kami”, begitulah isi SMS dan masih banyak sms-sms lain yang intinya sama, mendoakan Anas menjadi Presiden, Gede Pasek Suardika pun berkelakar “Itu doa rakyat”. Anas pun semakin bingung dan menjawab “saya tidak tahu” karena menjaga etika, antara dirinya dan istri tidak pernah saling membuka HP/BB masing-masing.
Lalu Anas mengatakan “begini pak Jaksa, ini perspektif saja ya, jadi begitu saya terpilih jadi Ketua Umum, ada analisis di koran, ketua umum layak nanti jadi calon Presiden, kemudian pernah ada survey, jadi disurvey Ketum-ketum itu kalau misalnya jadi Capres atau Cawapres elektabilitasnya berapa? Ada yang punya penilaian pengamat seperti ini, atau ada orang yang punya penilaian seperti itu layak jadi Presiden, jadi bebas orang menilai, orang mendoakan, orang mengharapkan, itu konteks yang berbeda dengan rencana atau mempersiapkan diri jadi calon Presiden itu dua hal yang berbeda, sama juga kalau saya, pak jaksa nanti saya doakan jadi Jaksa Agung misalnya, kan bukan berarti pak jaksa ingin mencalonkan diri jadi jaksa Agung, kira-kira begitulah”, hadirin pun tertawa, ada yang teriak “amin”. Dan masih banyak sms-sms lain yang dibacakan JPU KPK dengan gaya ala dia yang tak henti-hentinya membuat hadirin tertawa, bahkan Gede Pasek Suardika (Anggota DPR RI) yang hadir saat itu berkelakar “ Kok tidak ada sms mama minta pulsa?” suasana ruang pun kembali ramai dengan tawa. Jangankan Anas, saya dan orang-orang yang hadir dipersidangan pun heran, kenapa mendoakan orang menjadi Presiden atau cita-cita menjadi Presiden dipermasalahkan? Apa kaitannya dengan dakwaan JPU KPK? Anas pun menganalogikakan bahwa mendoakan orang menjadi Presiden belum tentu yang didoakan itu bercita-cita jadi Presiden, logis. Lalu apa yang salah?
Ada kejadian yang lebih lucu lagi saat JPU KPK menanyakan “apakah saudara pernah dimintai bantuan untuk pengisian job kosong di Dirjen Kemendiknas?” Anas menjawab “Tidak pernah, saya tidak pernah berurusan dengan Kemendiknas”, “dari pak Hendarman” kata JPU. Lalu JPU KPK menanyakan “kenal tidak dengan pak Hendarman?” Anas menjawab “tidak kenal”, selanjutnya membacakan sms dari pak Hendarman yang tercatat tanggal 5 september 2011, isinya“Assalamualaikum, de’ Endar tulung aturke de’ Tiya, saumpomo ora ngerepoti, nyuwun tulung perkoro mutasiku nang Kemendiknas untuk pengisian job kosong Dirjen, berkasku wis dibekto mbah kyai Masruri Bumiayu, lan pun diaturke pak nuh waktu rawuh nang Bumiayu, kebeneran Sekjen Diknas mas Ainun Na’im nate nyantri nang Krapyak, lan ugo karopek dinas kang Muslih disik nangkomplek H, maneh staf khusus Mendiknas mas Taufiqurahman Shaleh (seniore dek Anas nang Suroboyo), mtr nuwun”. Suasana sidang kembali gaduh dengan suara tawa hadirin, mungkin banyak yang tidak mengerti dengan bahasa Jawa, hingga ada yang menyuruh diterjemahkan, akhirnya aspirasi hadirin disampaikan Anas “itu ada yang ingin pengen diterjemahkan”, akhirnya Hakim Ketua mengatakan “ada baiknya itu diterjemahkan, karena Persidangan ini persidangan yang resmi, persidangan yang berbahasa Indonesia”. Seketika JPU KPK pun menerjemahkannya sesuai apa yang tertulis disms itu, hingga titik dan komanya semua diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, hingga selesai dan diakhiri dengan kata “semoga terhibur”, hadirin makin tertawa keras, hingga JPU KPK mukannya memerah, dan langsung matanya melotot “tolong jangan mengganggu konsentrasi kami”. Tapi tetap saja masih ada yang menahan tawa.
Mungkin bila saya tuliskan semua terlalu panjang, masih banyak sms-sms yang dibacakan JPU KPK yang kesannya lucu dan mengundang gelak tawa orang-orang yang hadir di persidangan. Bukti-bukti lain pun ditunjukkan, seperti print out BBM dengan nama Wisanggeni yang katanya sudah di forensik, anehnya transkip percakapan BBM tersebut tidak tercantum tanggal, jam dan nama pengirim BBM dalam percakapan, bahkan tidak ada jawaban atau respon dari Wisanggeni, akirnya barang bukti tersebut diabaikan oleh Hakim. Sungguh miris melihat kasus Anas Ubaningrum, jeratan yang menyeramkan tak mampu dibuktikan dengan barang bukti yang kuat, akhirnya hanya gelak tawa penonton, sidang Anas laksana menonton lawakan yang diperankan JPU KPK. Mungkinkah setelah GAGAL menjerat Anas mereka akan beralih profesi sebagai PELAWAK? Kita lihat saja nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H