Lihat ke Halaman Asli

Antara Kesalehan Semu dan Kesalehan Sosial

Diperbarui: 12 Juli 2016   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bunda Theresa Menggendong Bayi Kurus | Sumber gambar: www.stylemagazin.hu

 Berita kepindahan agama seorang artis selalu menjadi isu panas di republik ini. Isunya bisa merembet menjadi isu politik. Sering begitu. Seolah olah kepindahan agama sang artis menandakan Indonesia sedang gawat darurat agama.

Ambil contoh kisah Lukman Sardi, anak pemain biola terkenal Idris Sardi. Setahun lalu LS pindah keyakinan dari Islam menjadi Nasrani. Kontan kepindahan agama LS heboh. LS menjadi trending topic.

Perdebatan Lukman Sardi di media sosial sudah begitu buruk. Caci maki murtad, kafir bangsat, umpatan, ejekan dan cemohoan silih berganti masuk ke wall dinding fesbuk kita. Kepindahan agama Aktor Sang Pencerah Lukman Sardi ini seakan mengotori wajah K.H Ahmad Dahlan pendiri Muhamaddiyah. Banyak netizen mengungkapkan kemarahannya menyesali pemeran tokoh panutannya K.H Ahmad Dahlan ternyata murtad.

Media mainstream garis keras bahkan menjadikan isu LS sebagai bara api baru. Bara api kebencian. Membacanya membuat kita geleng-geleng kepala. Kita menjadi ribut. Ribut bukan karena kepedulian, namun ribut karena alasan dogma dan seribu satu macam cerita di baliknya.

Potensi kericuhan dan permusuhan antar relasi sosial dengan komentar - komentar bernuansa kebencian tiba-tiba menyeruak dibalik kemarahan atas pilihan LS.

Reaksi negatif ini sebenarnya mirip dengan reaksi saya saat mendengar boru Batak, Lulu Tobing, berpindah agama menjadi muslim hanya karena mau menikah dengan cucu keluarga Cendana. Rasa kesal, kecewa, marah dan hujatan tiba tiba muncul dari dalam hati. Lalu menjadi pembicaraan gosip panas saat gereja. Itu tahun 90an.

Dunia terus bergerak dinamis. Nilai-nilai sempit itu perlahan tercerahkan. Saya semakin faham bahwa pilihan memilih agama adalah pilihan pribadi, sebagai hak asasi yang Tuhan berikan. Setiap pribadi yang sudah dewasa akan memilih atau tidak memilih atas jalan hidupnya, keyakinannya.

Kebiasaan ribut, bergunjing kita sebenarnya yang belum sembuh dalam memahami hakikat manusia yang identik dalam mencari jalan kehidupan, jalan kebenaran. Jalan kehidupan dan kebenaran itu ada pada Tuhan yang diyakininya secara individu. Tuhan yang mengajarkan nilai nilai kebaikan dan keselamatan.

Artis yang berpindah agama kita rayakan layaknya kita menang perang. Sebaliknya bagi yang ditinggalkan seolah sedang kalah perang. Rasanya kita kehilangan kavling surga atas kepindahan agama mereka. Waktu kita habis meributkan hingga melewati batas, sementara tetangga kiri-kanan kita yang seiman dengan kita kelaparan bahkan putus asa, kita tutup mata. Kita tidak peduli.

Kepindahan agama Lukman Sardi dari muslim menjadi nasrani atau kepindahan Selvi Ananda menantu Jokowi menjadi mualaf tidaklah penting dibicarakan. Kepindahan warga negara anak-anak bangsa kita seperti pemenang medali olimpiade fisika, matematika, insinyur hebat menjadi warga negara lain itu lebih menyedihkan. Itu lebih merugikan.

Kepindahan para TKW keluar negeri untuk mencari nafkah demi keluarga itu lebih menyedihkan dan menggetirkan dibanding cerita pindah agama artis. Mereka meninggalkan kebersamaan keluarga hanya karena kemiskinan menderanya. Mereka kehilangan waktu terbaik mendidik anak anaknya agar anak anaknya bisa sekolah. Inilah tragedi kemanusiaan sebenarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline