Beberapa hari ini saya menarik langkah mundur kebelakang, mengaso sejenak dari dunia medsos untuk sekedar menjauh dari hiruk pikuk ruang perbincangan politik kita.
Tidak mudah buat saya untuk memutuskan apakah saya harus memilih mendukung Ahok secara fisik dan itu artinya saya harus tinggal di Jakarta atau saya harus berada di kota saya Kepri membantu teman2 memenangkan Cagub Sani.
Beberapa sahabat saya di Kepri meminta saya untuk membantu secara fisik hadir di Kepri membantu all out turun ke tengah tengah masyarakat untuk mendulang suara swing voters yang cukup besar jumlahnya. Sebagai ketua Bara JP Kepri tentu ini tanggung jawab saya. Jakarta sudah ada orangnya, bahkan melimpah di sana, demikian omongan teman teman.
Di sisi lain, antusiasme luapan ekspresi tentang Ahok sangatlah meluap luap. Energi atau ledakan energi yang keluar dari dalam diri begitu kuat dan tinggi. Laksana hulu ledak rudal tomhawk. Aneh memang, tapi itulah yang terjadi. Ledakan energi itu memunculkan tulisan tulisan ringan tentang Ahok.
Ledakan energi itu memunculkan pembelaan atas Ahok dari lawan Ahok. Ledakan energi itu membuat saya meninggalkan kota tempat tinggalku Provinsi Kepri, lalu bergabung bersama dengan teman teman seide dan sepemikiran di Jakarta untuk mendukung Ahok.
Alhamdulilah, perkembangan positif dan luar biasa dari para relawan Teman Ahok, DAG, FPA dll dalam meraih kepercayaan publik Jakarta begitu sukses. Tidak sampai hitungan setengah tahun KTP warga sudah terkumpul hampir 300 ribu KTP. Ini tentu prestasi luar biasa. Ahok ternyata sangat di apresiasi warga Jakarta.
Tentu pertimbangan pertimbangan lain juga mengisi kepala saya. Pertimbangan lain itu menurut saya juga sangat penting. Bukan soal semata Ahok telah mencuri perhatian saya, tapi ada pertimbangan non teknis yang juga sangat berarti buat saya hingga harus memutuskan kembali ke kampung halaman. Ada sesuatu yang lebih bernilai dari semua itu.
Dalam hitungan 8 minggu lagi, Provinsi Kepri dan Kota Batam akan menentukan siapa pemimpinnya. Sebagai warga, ada panggilan yang kuat agar saya ikut menenteng ide, gagasan, pikiran, tenaga, inovasi yang saya miliki untuk memperkuat barisan nomor satu melawan barisan nomor dua.
Jujur, nomor satu buat saya bukanlah pemimpin yang mampu mencuri perhatian saya. Jujur nomor satu bukanlah pemimpin yang membuat saya greget terpesona seperti lengketnya otak saya terhadap Ahok. Jika bicara Ahok, sel sel otak saya bertabrakan dinamis sehingga ide ide segar keluar bagaimana sepenuh hati mendukungnya meski Ahok tidak mengenal saya.
Nomor satu saya pilih karena nomor dua menjelma menjadi sosok yang menakutkan secara intuisi. Seperti suasana kebatinan pilpres lalu, seperti ada getaran sosok menakutkan Prabowo dalam benak aktivis anti Orde Baru hingga semua turun gunung mendukung Jokowi.
Ketakutan itu menimbulkan keberanian untuk melakukan perlawanan. Perlawanan yang berusaha dan berjuang bahwa ikhtiar dan sikap politik itu akan berujung pada pilihan pilihan objektivitas bercampur subjektivitas demi kebaikan dan kemashalatan rakyat Kepri.