Lihat ke Halaman Asli

Wejangan Bisu Pagi Hari

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini saya jalan pagi bersama Kathrine dan mama Kathrine..didepanku tidak jauh dari pasar rakyat Mega Legenda...seorang Ibu kurus sedang berjalan tergopoh gopoh sambil menggendong anaknya. Barang rongsokan yang sudah dikumpulkannya dari setiap tong sampah sejak pukul 4 pagi dijunjung diatas kepalanya. Tangannya menenteng satu tas plastik besar penuh bekas minuman kemasan. Bu..ibu..sebentar bu !! panggilku. Ia berhenti dengan senyum kecil dibibirnya sementara bayinya menatap dengan sayu.
Tinggal dimana bu? tanyaku. Sang ibu hanya tersenyum...sepertinya ia tidak suka pertanyaanku. Maksud saya...mana tahu ada barang bekas keluarga kami ..bisa kami antar ketempat ibu...bujukku. Sang ibu berubah raut mukanya...Ia nampak senang. Kampung air bapak..kampung air dekat sekolah SMP. Aku tahu...Kampung air adalah tempat orang orang kecil yang miskin tak berpunya. Perkampungan kumuh...mereka mendirikan rumah liar yang sangat sederhana. Rumah mereka atau bisa disebut gubuk hanya beratap getah karet dan berdinding kayu bekas pabrik. Aku pernah kesana. Ada ribuan orang seperti ibu ini nasibnya. Bekerja dari subuh hingga malam dengan menggendong anaknya hanya untuk bertahan hidup. Kemiskinan, ketidakberdayaan untuk hidup bermartabat menjadi lingkaran setan yang terus turun temurun mendekap mereka.

Disini peran negara hilang. Negara yang kita dirikan untuk membawa kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia seperti berada diperut elit penguasa. Diperut perampok negara. Diperut koruptor..mengendap hingga untuk lumbung kemewahan bagi 100 keturunan anak cucunya. Mereka yang diberi kuasa memikirkan nasib ibu dan anak ini malah sibuk mencari gadis muda nan cantik untuk menyalurkan syahwat binatangnya. Menenteng tas belanjaan ratusan juta rupiah untuk menyenangkan wanita simpanannya. Tertawa cekikikan diringi celotehan canda tawa memuakkan khas dunia gemerlap. Tanpa iba..tanpa rasa. Semua mengklaim dirinya berpihak kpd simiskin dengan jam rolex milyaran dipergelangan tangannya. Semua mengklaim akan membangun rumah rakyat diatas rumah istananya dihamparan kebun ratusan hektar lengkap dengan penjaga anjing bernilai ratusan juta. Mereka yang bersumpah diatas kitab suci melumuri sumpahnya dengan mencuri jatah susu anak anak bayi miskin. Mereka yang bersumpah dengan menyebut nama Tuhannya menyumpahi para ibu hingga kering air susunya karena tak sanggup membeli makanan bergizi. Keserakahan menjadi gurita...mencangkul apa saja didepannya yang oleh filsuf Erich Fromm menyebut mereka melahap lebih banyak...menggunakan lebih banyak hingga tak bersisa...to have more and to use more. Seperti sel kanker ganas yg melahap sel jinak...hingga mati setelah menderita menahan sakit.

Aku mendekatinya beberapa langkah..aku melihatnya lebih dekat lagi. Sang ibu masih bisa tersenyum saat aku meminta ijin mengambil fotonya. Ia mengangguk tanda setuju... sepertinya ia baru pertama kali dipotret. Beberapa gambar kuambil...sang ibu selalu tersenyum..bayinya menatap dengan pandangan sayu. Mungkin belum makan atau minum pikirku. Jangan pernah berpikir bisa minum susu bubuk untuk anaknya. Air putih sudah cukup...itupun dari sumur yang jauh dari syarat kesehatan. Terimakasih bu...salam buat keluarga ya..Sang Ibu hanya mengangguk ..saya tidak membawa uang untuk menyalamkan kepadanya..sekedar buat sarapan pagi.
Sang ibu lalu berjalan cepat meninggalkanku. Ibu perkasa nan mulia ini mengingatkanku kembali akan hakikat hidup...what do you looking for in your life..apa sesungguhnya yang anda cari dalam hidup ini? Pertanyaan yang pernah kuajukan pada diriku sendiri saat aku muda...saat masih mahasiswa mencari jati diri. Apa yang kau cari Birgaldo?? Istana?? Gelar Sarjana?? Mobil mewah?? Jabatan??? Karir??? Uang??? Kekayaan melimpah ruah??? hmmmm

Setiap ibu akan melakukan apapun demi anaknya. Cintanya yang demikian besar tidak bisa dilukiskan dengan warna yang ada dikanvas lukisan. Kepalanya menjunjung barang yang berat, bahu dan dadanya menjadi gantungan gendongan anaknya, tangan kanannya menenteng barang bekas. Dari subuh hingga pagi hanya 10ribu rupiah diperolehnya. Siang akan berkeliling lagi. Malam juga. 30ribu saja yang diperolehnya setelah bekerja sehari semalam. Sangat kontras dengan pejabat negara kita yang hidup dengan tumpukan uang diatas kasurnya setelah membicarakan nasib rakyat. Membicarakan nasib seperti ibu dan anak ini. Ya...ditengah pekik keras para anggota DPR ...ditengah teriakan mereka atas nama rakyat digedung DPR sana..didepanku seorang ibu yang menggendong anaknya masih tersenyum melihatku. Tidak ada keluh kesahnya...tidak ada tangisnya..Ia tidak peduli dengan hiruk pikuk wakilnya diparlemen yang merebut masa depan anaknya untuk bisa hidup layak dan bermartabat. Ia hanya tahu bahwa kehidupan harus dijalani seperti burung burung diudara yang selalu bersiul dipagi hari meski buring tdk pernah menanam dan menuai.

Hidup sudah ada yang menjamin. .baginya hidup adalah untuk menghidupi kehidupan. Hidup untuk menghidupi kehidupan adalah tidak mencuri hak orang lain. Hidup untuk menghidupi kehidupan adalah tidak merampok milik orang lain. Dari sanalah asal kehidupan. Dari roh Allah yang adil dan baik. Darisanalah kita berasal..dari roh Allah yang menghidupi kita.Terimakasih ibu atas wejangan bisumu. Wejangan tanpa katamu menyadarkan kembali bahwa hidup untuk menghidupi kehidupan berarti selalu berarti bagi sesama. Berarti bagi sesama dalam lingkup lebih luas adalah bersama sama membangun bangsa dengan keberpihakan kepada semua anak bangsa. Terlebih kpd anak bangsa yang miskin menderita sepertimu. Salam Indonesia Peduli.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline