Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah kabila dari kabilah Murad yang menjadi nama desa terpencil di wilayah Yaman. Tidak diketahui kapan ia dilahirkan.
Riwayat tentang masa kecilnya hampir tidak ada sama sekali. Literatur-literatur sejarah hanya menceritakan ihwal hidupnya ketika usianya menginjak dewasa. Hal itu tidak lepas dari gelar yang disematkan nabi kepadanya, pemuda yang sangat terkenal di antara penduduk langit, tapi tidak populer di bumi.
la lahir dari keluarga miskin yang taat beribadah. Sejak kecil ia hanya merasakan kasih sayang dari ibunya. Untuk membantu meringankan beban ibunya yang sudah tua, ia bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan.
Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang di sekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan para penggembala yang lainnya. Hidupnya amat sangat sederhana. la hanya memiliki dua helai pakaian lusuh. Setiap harinya ia lalui dengan menahan lapar. la hanya minum air putih dan makan sisa makanan yang sudah dibuang. Oleh karenanya, ia merasakan betul derita orang- orang kecil di sekitarnya.
Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah mendorongnya untuk selalu berdoa kepada-Nya: "Ya Allah, janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang mati kelaparan, dan jangan Engkau menyiksaku karena ada yang kedinginan." Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah juga termanifestasi dalam kecintaan dan ketaatannya yang luar biasa kepada Rasulullah dan kepada ibunya. Di siang hari, la bekerja keras, dan di malam hari, ia bermunajat kepada Allah . Hati dan lisannya tidak pernah lengah berzikir dan membaca ayat-ayat suci al-Qur'an, meskipun ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia selalu merasakan kehadiran Dzat yang telah menciptakannya.
1. Merindukan Rasulullah
Suatu ketika, Uwais mendengar kabar ada seorang Nabi, utusan Tuhan Semesta Alam, yang berhijrah dari Mekah ke Madinah dan masyarakat semakin banyak yang mengikuti ajarannya. Uwais melalui perenungannya sampai kepada kesimpulan bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang benar-benar diutus oleh Tuhan. Uwais mempercayai kenabian Muhammad dan ia ingin sekali bertemu langsung dengan beliau, la ingin melakukan perjalanan ke Madinah dan melihat sendiri keagungan Muhammad dari dekat. Keinginan untuk berjumpa langsung dengan Rasulullah selalu mengganggu pikirannya. Setiap kali melihat rombongan kabilah yang datang dari Madinah dan menceritakan ihwal Rasulullah keinginan itu semakin membuncah. la pun bermaksud mengikuti rombongan kafilah yang berangkat ke Madinah dan sowan kepada Rasulullah, tapi kondisi ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan membuatnya mengurungkan niatnya itu.
Berbulan-bulan lamanya Uwais memendam harapan dan impiannya tersebut. Kecintaannya kepada sang ibu dan kerinduannya kepada Rasulullah memang membuatnya berada dalam situasi yang dilematis, tapi keinginannya untuk bertemu Rasulullah semakin tak bisa ditahan. Akhirnya, dengan berat hati ia menyampaikan dan menceritakan perasaannya serta meminta izin kepada ibunya untuk pergi ke Madinah menemui Rasulullah. Sang ibu mengerti situasi yang dialami anaknya. Walaupun berat ditinggal anak satu-satunya, sang ibu merestui keinginannya. Uwaispun bahagia karena sebentar lagi ia akan berjumpa dengan Rasulullah, nabi agung yang selalu dirindukannya. Uwais
kemudian berangkat meninggalkan rumah gubuknya dan setelah melakukan perjalanan melelahkan akhirnya ia sampai ke Madinah. la langsung mendatangi kediaman Rasulullah, tapi Rasulullah sedang tidak ada di Madinah. Rasulullah pergi berperang bersama Sahabat-Sahabatnya. Uwaispun sedih dan menangis, namun ia segera kembali ke Yaman demi sang ibunda.
Kisah tentang keberangkatan Uwais ke Madinah untuk bertemu Rasulullah tidak banyak disinggung dalam literatur sejarah. Namun kisah itu setidaknya menjadi salah satu bukti sabda Rasulullah. Imam Ahmad di dalam Musnadnya meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik Tabiin adalah Uwais al-Qarani". Uwais memang seorang Tabiin, bukan Sahabat & karena la tidak pernah berjumpa langsung dengan Rasulullah.
2. Titipan Salam Rasulullah
Rasulullah menuturkan keistimewaan Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali bahwa di hari kiamat nanti, di saat semua orang dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan syafaat kepada banyak orang, sebanyak jumlah kabilah Rabah dan Mudhar. Karena itu, Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua agar menemuinya, menyampaikan salam dari Rasulullah. Rasulullah juga menyuruh Umar dan Ali untuk meminta untuk didoakan kepada Uwais. Rasulullah menggambarkan bahwa Uwais berperawakan sedang, berambut lebar, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kinnya. Sejak Rasulullah menyarankan untuk menemuinya, sejak itu pula Umar dan Ali selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais. Setiap kali mereka bertemu dengan rombongan orang-orang Yaman, mereka selalu berusaha mencari tahu di mana keberadaan Uwais. Sepuluh tahun pencarian itu dilakukan, namun mereka berdua selalu gagal mendapatkan informasi tentang Uwais. Baru pada tahun terakhir masa kekhalifahan Umar informasi tentang Uwais mereka peroleh dari serombongan orang Yaman. Ibnu Asakir dalam kitabnya, Tarikhu Dimasyqa, menceritakan kronologi pertemuan mereka berdua dengan Uwais al-Qarani sebagaimana berikut: Pada tahun 22 H. Kahlifah Umar melaksanakan ibadah haji. Ketika wukuf di Mina, Umar menaiki mimbar untuk memberi wejangan kepada para jamaah haji. Setelah selesai, Umar bertanya kepada para jamaah dengan suara keras, "Hai orang-orang Yaman adakah di antara kalian yang dari kabilah Murad ?? Setelah orang-orang Murad berdiri, Umar melanjutkan pertanyaannya, "Apakah di antara kalan ada yang bermama Uwais?
Seorang kakek berambut putih dan berperawakan tinggi menjawab, "Tidak ada yang mengenalnya, Amirul Mukminin, tapi saya punya keponakan yang bernama Uwais la orang hina dan tidak waras, sehingga tidak
mungkin dialah yang anda cari" "Dimanakah dia sekarang? apakah ada di sekitar tanah haram ini?" Tanya Khalifah Umar penasaran "lya benar la sekarang sedang menjaga dan menggembala unta orang-orang di sekitar pohon arak di Arafah," jawab si kakek.
Kemudian Umar dan Ali pergi ke Arafah. Sesampai di Arafah, mereka menunggangi keledai mereka dan segera berdua melihat seorang pemuda sedang berdin khusyuk melaksanakan salat "Saya yakin inilah orang yang kita cari" kata Ali meyakinkan Khalifah Umar. Mendengar pembicaraan seseorang di dekatnya Uwais mempercepat (mentakhfif) salatnya. Seusai salat ia berpaling ke arah suara. "As-Salámu alaikum," sapa Umar & dan Ali.
"Wa alaikumus-salam," jawab Uwais
"Siapa namamu??tanya Umar mengawali.
"Saya adalah penggembala unta-unta ini" jawab Uwais datar.
"Kami menanyakan namamu," timpal Umar
"Saya adalah seorang buruh," kata Uwais dengan nada yang sama