Lihat ke Halaman Asli

Bintan Nisrina Qatrunnada

Bintan Nisrina Qatrunnada Nurlliana

Tuna Wisma

Diperbarui: 17 Januari 2022   22:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Hawa dingin menyergap malam itu. Gumpalan kapas di langit seketika mengubah warna mereka menjadi hitam pekat. Sunyi, sesekali terdengar suara angin berlari sana -- sini. Seperti membawa berita, kawannya, hujan sebentar lagi akan datang.

            Aku duduk tergeletak di lantai, merenggut dengan keras kepala hingga beberapa helai rambutku rontok. "Kenapa begitu bising?" tidak ada suara namun pikiranku sesak. Lantas aku menjerit upaya memecah kebisingan, suara dari kepalaku hilang.

            9 Febuari 2021, sudah seminggu sejak kejadian itu. Kejadian yang memicu suara aneh di kepalaku. Tepatnya saat aku luntang -- lantung kehilangan rumah, bukan sebagai tempat tinggal namun, sebagai tempat "pulang". Namun kini yang tersisa hanya aku, dan penyesalan.

            Bicara tentang penyesalan, mungkin denganku tidak akan ada habisnya. Karena bagaimana cara menerima perasaan sedih ketika tahu yang terbaik dalam hidup ada di belakang kita? Yang akan keluar hanya kalimat "Seandainya waktu itu ...".

            Tapi kadang kala aku berfikir, bahwa aku tidak mendapat keadilan. Bagaimana mungkin suatu kesalahan divonis dalam waktu tiga hari. Mengabaikan perjuanganku dalam  19 bulan terakhir. Lupa bahwa aku pernah dipaksa menenggak obat setiap hari, menghamburkan puluhan juta untuk pengobatan agar aku bisa bertahan di "rumah" itu. Dan lupa bahwa aku datang dengan tujuan besar. Membawa harapan orangtuaku, harapan mereka yang mengenalku.

            Namun apa daya ketika nasi sudah menjadi bubur? Ratusan pembelaan yang keluar dari mulutku dibungkamkan dengan secarik kertas bertanda tangan. Kuingat saat itu seorang berbisik kepadaku "Jika jatuh pada lubang yang sama, maka kau tak ada bedanya dengan keledai. Bodoh, karena tidak dapat menghindari lubang yang pernah kau jatuh didalamnya. Bahkan keledai tidak sebodoh itu".

            Tapi bagaimana ketika memang aku lebih buruk daripada keledai? Karena saat itu seperti berdiri di ujung tebing atau gedung yang tinggi, banyak orang yang takut akan berdiri disana. Tapi ketika kamu melihat ke bawah, ketinggian itu sangat menggairah, angin merayu setiap langkah untuk terus maju dan terjatuh. Diriku tahu bahwa aku akan melangkah maju dan terjatuh. Tanpa sayap, tanpa pengaman.

Didepan tidak ada jalur keluar. Ingin sekali melangkah mundur tapi bisikan angin tersebut mendorongku untuk terus, melangkah lagi. Berharap kepakan sayapku dapat bangun di tempat lain. Memang pemikiran yang lebih bodoh daripada keledai. Tapi apakah kamu pernah merasakan hal seperti itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline