Sejak kampus saya mulai memberlakukan sistem kuliah luring, mau-tidak mau saya harus menjalani kehidupan sebagai anak kos. Ya, sebagai perantau yang tidak memiliki sanak-keluarga sama sekali di domisili saya saat ini, saya mesti hidup sendiri dan menetap di kos-kosan.
Mulanya, saya merasa kehidupan sebagai anak kos adalah kehidupan yang cukup menyenangkan. Saya tidak perlu khawatir apabila pulang dalam waktu larut malam. Saya tidak perlu khawatir untuk mengecilkan volume suara saya tatkala sedang menonton film ataupun mendengarkan lagu.
Saya tidak perlu khawatir pula jika kamar saya dalam keadaan kotor karena kebiasaan saya yang malas membersihkan kamar. Jika masih tinggal bersama orang tua, saya pasti tidak akan merasakan semua keistimewaan tersebut. Namun, sebagai anak kos, saya bebas hidup "merdeka" tanpa harus khawatir akan adanya perintah dari ayah-ibu saya untuk melakukan sesuatu.
Akan tetapi, seiring waktu berjalan, saya menyadari bahwa segala sesuatu pasti berjalan dengan seimbang. Dengan kata lain, di balik semua dampak positif menjalani kehidupan sebagai anak kos tersebut, saya pasti juga akan merasakan dampak negatifnya. Saya pasti akan berjumpa dengan momen-momen ngenes di mana saya berharap saya masih tinggal satu atap dengan orang tua saya. Ya, momen-momen itu pasti ada kaitannya dengan uang. Meskipun telah melakukan beberapa pekerjaan sampingan, tetapi saya tetap tidak dapat memungkiri bahwa saya masih mengandalkan uang kiriman orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dan karena ayah-ibu saya tidak berada dalam status ekonomi yang tinggi, maka sudah pasti pula bahwa dana yang mereka kirimkan berjumlah terbatas. Oleh sebab itu, saya pun dituntut untuk mampu mengatur uang secara cerdik dan sehemat mungkin.
Tidak hanya itu saja, orang tua saya juga meminta saya untuk membuat laporan keuangan. Memang, yang dimaksud dengan laporan keuangan di sini bukanlah yang betul-betul "serius" seperti laporan keuangan di sebuah perusahaan dagang atau semacamnya. Laporan yang dimaksud di sini adalah catatan kecil mengenai seluruh pengeluaran saya dalam kurun waktu tertentu (baca: satu bulan). Sebagai orang yang bertanggung jawab dalam mengirimkan uang ke saya, tampaknya wajar jika orang tua saya menyuruh saya untuk membuat laporan keuangan tersebut. Toh, itu, kan, juga uang mereka yang saya belanjakan.
Nahasnya, terkadang saya berbohong dalam menuliskan laporan keuangan untuk orang tua saya. Ada masa-masa di mana saya menulis bahwa saya mengeluarkan nominal tertentu untuk membeli keperluan kuliah, misalnya buku, alat tulis, dan sebagainya. Padahal, sesungguhnya saya malah menggunakan uang tersebut untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak penting-penting amat, seperti menonton film di bioskop, bermain rental PS bersama teman-teman, dan lain-lain. Di saat-saat seperti inilah kebimbangan sering muncul di benak saya. Ada semacam balada yang membuat nurani saya teruji: berkata jujur kepada orang tua ataupun melemparkan dusta yang dosanya akan saya tanggung sendiri di hari penghakiman kelak.
Sebagai "anak baik-baik", saya sering merasa tidak enak hati jika harus menuliskan laporan penuh dusta tersebut. Setiap kali akan melakukan itu, seakan-akan wajah kedua orang tua saya langsung muncul di hadapan saya; wajah murni penuh kasih sayang yang selalu memberikan segala yang mereka mampu kepada anak kesayangannya. Akan tetapi, di sisi lain, mereka tak tahu bahwa anak itu ternyata tidak sebaik yang mereka kira. Anak yang mereka didik sejak kecil itu telah mampu melakukan kebohongan yang kalau dpikirkan kembali, tampaknya lumayan jahat juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H