Lihat ke Halaman Asli

bintang rahmawati

Mahasiswi/Universitas Airlangga

Kontroversi Publik terhadap Film Vina Menimbulkan Kritik dan Dukungan

Diperbarui: 6 Juni 2024   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

     Beberapa waktu belakangan ini, masyarakat Indonesia yang sedang ramai membicarakan kasus “Vina” yang diangkat menjadi film horor berjudul “Vina : Sebelum 7 Hari” yang dirilis di Indonesia. Keseluruhan film ini disutradarai oleh Anggy Umbara yang menimbullkan kontroversi sehingga sempat membuat gaduh di media sosial. Berdasarkan sinopsis, film “Vina : Sebelum 7 Hari” adalah film yang diangkat dari kisah nyata seorang gadis asal Cirebon, Jawa Barat bernama Vina yang tewas akibat disiksa, diperkosa, dan dibuang secara tragis oleh geng motor pada tahun 2016 lalu. Rentetan pembunuhan sadis ini berakar dari salah satu anggota geng motor bernama Egi, yang perasaan cintanya ditolak oleh Vina. Film yang disutradarai oleh Anggy Umbara ini, dibintangi oleh Nayla Purnama sebagai Vina, Lydia Kandou sebagai nenek Vina, Gisellma sebagai Linda serta Yusuf Mahardika sebagai Zaki. Saat kejadian awal, Vina dan Eky sempat diduga sebagai salah satu korban kecelakaan lalu lintas. Namun, pihak keluarga dari Vina menemukan beberapa kejanggalan berupa luka yang ditemukan di tubuh korban remuk tak wajar. Hingga akhirnya, pihak polisi menyelidiki lebih lanjut atas kematian Vina tersebut. Pihak kepolisian juga menegaskan apabila kasus tersebut masih belum ditutup, setelah kasus pembunuhan Vina kembali ramai karena di filmkan.

     Kejadian nahas tersebut bermula ketika Vina dan Eky mengendarai sepeda motor pada 27 Agustus 2016 sekitar pukul 22.00 WIB. Dalam perjalanan, mereka kemudian diikuti oleh segerombolan geng motor, yang dimana mereka dilempari dengan batu oleh geng motor tersebut saat di depan SMPN 11 Kota Cirebon. Selain batu, geng motor tersebut juga membawa bambu hingga berhasil memepet sepeda motor yang dinaiki oleh sang korban. Akibatnya, Vina dan Eky hilang keseimbangan dan terjatuh dari motor di Jembatan Kepompongan, Talun, Cirebon. Setelahnya, segerombolan geng motor tersebut membawa Vina dan Eky ke sebuah tempat yang sepi, di situlah para pelaku mulai menganiaya dan memperkosa Vina secara bergiliran hingga tewas. Untuk menutupi aksinya, pelaku membawa korban kembali ke Jembatan Kepompongan agar seolah-olah tampak seperti korban kecelakaan lalu lintas. Enam hari setelah kematian Vina dan kekasihnya, Linda salah satu sahabat terdekatnya Vina, dihantui oleh arwah Vina di rumahnya. Yang dimana, arwah Vina tidak terima jasadnya dianggap sebagai korban kecelakaan. Hingga akhirnya, ketika Linda menjenguk rumah almarhum tiba-tiba Linda kembali dihantui atau dirasuki oleh pengakuan Vina sebagai hantunya. Ia membeberkan kebenaran atas kronologi meninggalnya Vina. Linda mengatakan jika Vina dan Eky mendapatkan serangan dari geng motor yang berjumlah 12 orang. Di antara anggota geng motor tersebut, ada seorang yang bernama Egi yang merupakan dalang atau pelaku utama penyerangan tersebut dan ia merupakan teman dari Eky. Ternyata Egi diam-diam telah menyukai Vina dan ingin mengakhiri hubungan asmara dengan Eky. Tak hanya ditolak, Egi juga sempat diludahi di sebuah toilet umum oleh Vina. Sejak saat itu, dendam dan kemarahan Egi semakin besar. Akhirnya, ia tidak bisa menahan dendamnya dan mengambil tindakan nekat hingga menghabisi nyawa Eky dan Vina. Sebelum Vina meninggal, ia sempat dilecehkan secara bergilir oleh anggota geng motor tersebut hingga akhirnya Vina dan Eky berakhir secara mengenaskan. Bahkan kabarnya ada sang pelaku yang belum benar-benar diadili atau belum tertangkap.

      Dari film “Vina : Sebelum 7 Hari” memancing beberapa opini dari masyarakat, termasuk beberapa warganet yang menganggap film ini sebagai pelecehan terhadap korban. Apalagi, sosok Vina digambarkan sebagai hantu yang gentayangan. Dalam salah satu pemberitaan, film “Vina” dikritik karena mengeksploitasi kejadian yang dialami almarhum Vina, dan dengan menggunakan kekerasan serta penderitaan brutal yang dialami almarhum Vina sebagai umpan, membuat banyak orang menjadi tertarik hingga akhirnya datang ke bioskop. Beberapa orang juga mengatakan bahwa film ini bukanlah sarana yang tepat untuk memberikan keadilan bagi Vina. Alih-alih drama horor, semestinya film ini bergenre investigasi atau dokumenter agar benar-benar dapat membantu almarhum mendapatkan keadilan yang pantas ia dapatkan. Sebagian orang menganggap ini adalah konsensus yang tidak jelas, terlebih lagi ada berita selain keluarga Vina, keluarga korban lain tidak memberikan izin. Selain itu, penonton percaya bahwa film ini dirancang untuk menarik penonton yang haus sensasi, karena film ini lahir terutama untuk memuaskan penonton yang haus sensasi, dan menjadi alasan mengapa masyarakat berpikir film ini tidak mempunyai nurani. Terlebih, ada juga beberapa cerita tentang para penggemar film yang terpikat pada film dengan bumbu Vina kesurupan, dan banyak orang menjadi lebih tertarik dan ingin pergi ke teater untuk menonton film Vina. Yang menyedihkan, kurangnya hati nurani tersebut seolah ditularkan kepada penonton melalui film ini. Penonton merasa keputusan untuk membuat genre horor, terutama obsesi Vina, menunjukkan bahwa film tersebut tidak bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang kejahatan. Masyarakat menyayangkannya, bukan karena kasus Vina akan kembali dibicarakan, melainkan karena proses pemasaran dan pengemasan film tersebut terkesan tidak menghormati korban.

     Selain kritik, ada juga sebagian masyarakat yang mendukung film tersebut. Salah satu dari mereka berkata, “Saya setuju untuk membuat kasus Vina menjadi film karena bertujuan untuk mengungkap kasus Vina dan segera menangkap tersangka yang tidak ditemukan.” kata laporan itu. Selain itu, film ini bertujuan untuk mencapai keadilan dan menyoroti kasus Vina dalam sebuah film yang mengangkat persoalan perundungan, bahaya geng motor, hingga pergaulan. Film ini juga dipastikan memiliki plot yang diharapkan keluarga almarhum Vina agar film tersebut dapat membantu menemukan pelakunya dengan cepat. Pihak keluarga juga menyetujui pembuatan film ini karena adanya beberapa pelakunya yang masih belum tertangkap. Film ini juga ditegaskan mempunyai alur cerita bersumber dari pihak keluarga almarhum Vina. Tanpa adanya film ini, orang akan melupakannya dan berhenti memedulikannya. Pihak keluarga berharap jika banyak penonton yang berkumpul untuk menuntut keadilan bagi almarhum Vina, maka polisi akan bertindak tegas.  Dengan bertambahnya jumlah penonton, diharapkan semakin banyak orang yang ikut mendoakan Vina.

      Sutradara Anggy Umbara menambahkan dimensi lain pada film ini, mengenai persoalan penegakan hukum di Indonesia “Di Indonesia tuh hukum belum berjalan semestinya. Yang ingin disampaikan dalam film ini, Yuk sama – sama build awarness. Kita stop sampai disini, jangan ada Vina lainnya,” katanya. Hal ini merupakan seruan bagi semua pihak untuk tegas dan menegakkan hukum demi menghadirkan keadilan bagi korban kekerasan seperti Vina. Film yang diadaptasi dari kasus Vina ini tidak hanya sekedar hiburan, namun juga merupakan media yang efektif untuk meningkatkan kesadaran sosial dan mengajak masyarakat untuk ikut memperjuangkan keadilan. Harapannya, dengan dirilisnya film ini, masyarakat tidak lagi melanggengkan perundungan dan kekerasan seksual dan semoga segala ketidakadilan yang terjadi dapat terselesaikan, serta setiap korban dapat kembali memperoleh haknya atau keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline