Lihat ke Halaman Asli

Apakah karena Ini Presiden RI Mendapat Penghargaan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah presiden Republik Indonesia paling berprestasi sejauh ini. Seperti yang ditulis oleh Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (AS), Dr. Dino Patti Djalal, Presiden SBY sebelumnya telah menerima penghargaan dari “UNEP, ILO, World Movement for Democracy, US-ASEAN Business Council, WWF/WRI/TNC, dan lain-lain.”

Namun yang dimaksud dengan “PENGHARGAAN” di atas bukan salah satu dari penghargaan-penghargaan “sebelumnya” itu. Yang dimaksud adalah World Statesman Award 2013 (penganugerahan negarawan dunia) yang akhir-akhir ini begitu santer dibicarakan di virtual social network.

Jangan dulu berkesimpulan.

Masyarakat Indonesia, atau lebih tepat beberapa warga negara Indonesia, bukannya senang karena pemimpin negara mereka mendapat penghargaan.

Beberapa warga Indonesia justru begitu semangat mengritik (atau menasihati) organisasi Appeal for Conscience Foundation (ACF) yang berbasis di New York, AS, karena telah menetapkan bahwa Presiden Indonesia layak menerima penghargaan – meminjam bahasa Sindonews.com – “[a]tas jasa-jasanya dalam meningkatkan perdamaian, toleransi beragama dan menyelesaikan konflik antaretnik.”

Menurut sejumlah orang, penghargaan ini bertentangan dengan realita lapangan yang menunjukkan kekacauan, pelarangan dan perombakan rumah ibadah, dan konflik antar kelompok yang terus mewarnai stasiun TV beberapa politikus yang siap mencalonkan diri di 2014 nanti.

Tak kurang dari Romo Magnis Suseno SJ, seorang teolog, filsuf, tokoh yang disegani di lingkungan Gereja Roma Katolik dan dikagumi oleh masyarakat Indonesia (paling tidak berbicara atas nama diri sendiri), yang mengirimkan surat terbuka kepada ACF dengan nada kecaman sekaligus daftar peristiwa menyakitkan di negara yang menganut Pancasila ini.

Tapi sepertinya penilaian ACF tidak didasarkan pada rentetan kejadian tragis yang menunjukkan wajah Indonesia yang tak elok, atau jikalau bisa diterima, yang masih sedang tumbuh dalam pendidikan karakter budaya sebuah negara-bangsa yang menaungi bangsa-bangsa ini.

Dalam perayaan Natal Nasional umat Kristiani tahun lalu (2012) yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center (Jumat, 27/12), presiden ke-6 Indonesia yang dipercayakan menjadi "Ketua Bersama High Level Panel yang ditunjuk Sekjen PBB untuk merumuskan arah pembangunan dunia pasca-MDG" (Millennium Development Goal) ini mengatakan demikian:

Di tengah-tengah hadirnya tantangan untuk mewujudkan kehidupan antarumat beragama yang rukun dan damai, kita perlu terus meneguhkan semangat yang dimiliki Bangsa Indonesia untuk mengelola perbedaan, berdasarkan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda namun satu jua. (Antaranews.com.)

Apakah ungkapan Presiden RI waktu Natal lalu ini yang menjadi dasar penilaian ACF?

Ataukah karena Ambon telah kembali ke pela-gandong-nya (terima kasih pada Gubernur Sarundajang), Poso terkendali, Papua memberi harapan, Aceh terintegrasi, dan transformasi Indonesia dari (meminjam ungkapan Dubes), negara terpuruk (messy state) … berubah menjadi negara yang disegani, sebagai anggota G-20; "major democracy" [negara demokrasi besar], "emerging economy" [ekonomi yang sedang tumbuh], "pivotal state" [negara penting], "next Asian giant" [raksasa Asia berikutnya],” “environmental power” [kekuatan lingkungan hidup], dan lain sebagainya.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline