Lihat ke Halaman Asli

Konflik Cahaya

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KONFLIK CAHAYA

Bintang Perdana Putra

Aku berjalan mengikuti jejak matahari yang sudah lelah memberikan sinarnya. Langkahku terhenti di padang rumput yang luas dimana langit dapat menatapku dengan jelas. Awan berkumpul dan mulai menuntun matahari turun ke tempat peristirahatannya.

Aku sedang menunggu. Menunggu bulan datang untuk menyampaikan sinar matahari ke bumi di kala malam. Seiring dengan terang yang mulai menghilang, kegelapan pun mulai menutupi pandangan. Aku terdiam, menoleh ke atas, dan mulai bertanya-tanya. Mengapa bulan tak kunjung datang? Apakah ia berhenti menjadi tokoh utama malam? Atau ia sudah enggan berbagi terang ? Atau jangan-jangan, seseorang telah mencuri bulan? Lantas, siapa yang dapat menerangi jalan malamku selainnya?

Aku memutar balik arahku, menyusuri jejak matahari yang masih membekas menempel di tengah kegelapan. Langkahku semakin cepat hingga akhirnya aku menemukan ujung jalan yang sangat bercahaya. Terlintas di benakku bahwa bulan telah hijrah ke sana. Aku semakin dekat dengan ujung jalan. Suara kerumunan orang mulai terngiang di telingaku. Sesampainya di ujung jalan, seketika aku terkejut, bulan ternyata juga tidak tampak di tempat ini. Tetapi mengapa tempat ini begitu bercahaya ? Siapa yang telah mencuri cahaya bulan dan membagikannyake orang-orang di sekitar sini ? Mengapa banyak sekali cahaya yang menggantung di bangunan-bangunan milik warga daerah ini? Kemudian aku melihat orang-orang di sini, mereka sangat menikmati cahaya yang mereka miliki. Lantas bagaimana dengan orang-orang di daerahku yang sekarang tidak mendapatkan sedikitpun cahaya? Di tengah kerumunan orang-orang daerah ini, aku berteriak, "Kemanakah sang bulan? Siapa yang telah mencuri cahaya bulan?!" Seketika orang-orang tersebut menoleh ke arahku dan menertawakanku geli. Kemudian mereka pergi menjauhiku. Mungkin mereka mengira aku tak waras. Seharusnya aku yang menyebut mereka sinting, bagaimana bisa mereka hidup bahagia tanpa adanya bulan.

Wajahku memerah diantara gelisah dan heran. Tiba-tiba datang seorang laki-laki tua menepuk pundakku dan berkata, "Bulan telah punah, anak muda. Ia sudah beristirahat di pangkuan langit. Kini cahaya dapat kita genggam. Lihatlah.." Lelaki tua itu menunjukkan sebuah benda bergagang kayu dan berlapis kaca yang di dalamnya terdapat cahaya. Aku terpana, bagaimana bisa ia menggenggam cahaya. Aku melongok ke kerumunan orang di sudut lain, ternyata mereka juga sedang barmain cahaya di tangan mereka. Tempat apakah ini? Aku berlari, terus berlari mengelilingi tempat bercahaya ini. Mereka sangat damai.

Di tengah kucuran keringat yang menetes dari keningku, cahaya di tempat ini seketika padam. Lalu datang cahaya baru dari langit. Apakah bulan sudah kembali? Aku menyusuri jejak sinar cahaya itu. Ternyata bukan bulan, langit menarik matahari untuk bekerja kembali memberi terang. Aku mengikuti langkah matahari lagi hingga aku sampai di padang rumput semalam. Aku bertanya kepada matahari, "Wahai matahari, kemanakah kekasih engkau? Aku sangat merindukannya." Ia tak menjawab, ia malah menutupi dirinya berselimut awan. Aku terus menatap matahari hingga pedih menusuk kedua bola mataku. Ia tak juga menjawab. Ia malah lantas pergi beristirahat meninggalkan bumi. Bulan pun tak lagi datang dan kegelapan menghampiriku lagi. Aku berlari kembali ke tempat bercahaya itu. Mereka masih sama, masih bermain cahaya di tangan mereka. Kemudian aku duduk di bawah cahaya yang mereka gantungkan di bangunan. Aku bertanya kepada cahaya gantung itu, "Apakah engkau serpihan cahaya bulan?" Tiba-tiba lelaki tua yang semalam menghampiriku kembali. "Sudah aku bilang anak muda, bulan telah punah! Ini adalah cahaya yang kami ciptakan sendiri. Malam seperti ini sudah diramalkan jauh-jauh hari, maka dari itu kami menciptakan cahaya sendiri." Aku terheran, bagaimana bisa mereka menciptakan cahaya sendiri. Lelaki tua itu kembali bercerita, "Kami mengambil bekas serpihan pijakan petir yang menyambar ke tanah kami. Pergilah kau ke ujung utara tempat ini, di sana kau akan menemukan bagaimana kami mengubah serpihan petir menjadi cahaya." Aku menurutinya. Aku beranjak dan mengarahkan langkahku ke utara tempat ini. Dan benar, banyak sekali petir menyambar di sana. Kemudian aku melihat orang-orang di sana memungut serpihan petir lalu memasukkannya ke dalam tabung besi yang beruap. Keluarlah cahaya dari tabung tadi yang mereka isikan dengan serpihan petir. Hebat! Mereka benar-benar bisa menjinakkan kejam petir menjadi sinar cahaya. Namun seketika aku tersadar. Ternyata bukan bulan yang meninggalkan kami, tapi kami lah yang meninggalkan bulan seiring dengan pemikiran kami yang semakin berkembang.

Tiba-tiba ada air menetes di ujung kepalaku. Aku melongok ke atas menatap langit. Semakin lama semakin banyak air datang. Ternyata langit sedang membagikan kuasanya. Petir semakin banyak menyambar bersamaan dengan derasnya hujan yang turun. Tetapi lama kelamaan petir menyambar begitu liar tak terkendali. Ia menunjukkan kekejaman yang sebenarnya. Orang-orang di sana terlihat panik, tak bisa menjinakkan petir lagi. Tiba-tiba aku melihat petir memijakkan kakinya di atas tabung pembuat cahaya itu. Seketika tabung itu meledak! Sepertinya tak kuasa menahan kekejaman pijakan petir itu. Api mengudara bebas seiring dengan ledakan itu. Aku memandang ke belakang, cahaya ciptaan orang-orang di sini padam. Orang-orang berlarian panik keluar rumah. Tempat ini kembali gelap dan berair hujan. Kemudian mereka berdatangan ke sini untuk melihat tabung pembuat cahaya buatan mereka yang telah hancur diinjak sang petir. Kini tempat ini hanya bercahayakan pancaran terang dari api. Namun tak lama api pun padam terbunuh sang hujan. Seketika tempat ini menjadi ramai oleh teriakan kepanikan orang-orang.

Aku menatap langit. Aku berteriak, "lihatlah ke langit, sodara-sodara!" Mereka semua terdiam terpana melihat ada selinting cahaya datang. Semakin lama semakin terang. Aku melangkah sedikit demi sedikit menghampiri asal cahaya itu. Bulan! Bulan sudah kembali! Ingin rasanya aku memeluknya. Namun ia terlihat marah. Aku mengerti apa yang ingin ia sampaikan. Aku memanjat bebatuan dan berdiri menghadap orang-orang. Kemudian aku bertepuk tangan. "Kalian hebat! Kalian dapat menciptakan cahaya sendiri, dan membuang bulan. Hebat! Tapi ingatlah bahwa alam lebih hebat! Seberapapun kehebatan kalian, kalian akan tetap kembali bergantung kepada alam!"

Kini mereka sungguh ketakutan, ketakutan akan amarah bulan yang menatap mata mereka. Mata-mata yang dipenuhi kesombongan pikiran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline