Lihat ke Halaman Asli

Homoseksual: Lebih dari Sekedar Seks (part 1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Homoseksual. Biasanya kata tersebut akan merujuk pada suatu hal yang negatif. Bagi sebagian orang, kata tersebut merupakan suatu hal yang menjijikan. Atau belakangan ini katanya, kata tersebut menjadi salah satu gaya hidup di kota metropolitan.

Sebelum saya menulis panjang lebar, saya ingin menyampaikan bahwa tujuan saya menulis mengenai hal ini bukan sama sekali untuk mendukung hubungan sesama jenis. Tidak pula berniat untuk mendiskriminasi atau menjatuhkan orang-orang yang menjalin atau berorientasi terhadap hubungan sesama jenis. Saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya pribadi mengenai homoseksual.

Saya pria sudah memasuki usia dewasa awal. Menurut buku-buku, artikel, dan berbagai sumber lainnya saya merupakan seorang homoseksual atau gay. Mengenai definisi homoseksual atau gay mungkin para pembaca sudah tahu atau silakan cari sendiri :p.

Saya dibesarkan di keluarga yang bisa dibilang religius, nilai-nilai agama cukup kental di keluarga saya. Semasa sekolah saya seringkali dilabeli "banci", "kayak cewek", dan sebutan semacamnya. Bisa dibilang, sekolah banyak meninggalkan kenangan yang kurang indah di memori saya. Saya seringkali berbohong kepada Ibu saya dengan alasan sakit ini dan itu agar tidak masuk sekolah. Mengenai hal di sekolah saya tidak pernah menceritakannya ke siapapun termasuk kedua orangtua saya. SD, SMP, dan SMA label tersebut seakan tak pernah lepas dari diri saya. Saya kadang tidak mengerti mengapa orang-orang berkata seperti itu, merasa saja tidak. Saya ingat sekali, saya pernah menjadi salah satu pemain inti di sepakbola SD saya. Ketika saya mencetak gol, teman-teman saya menyoraki saya dengan penuh kebanggaan, saya tidak pernah melupakan hal itu. Namun, lagi-lagi saya tak mengerti, label tersebut masih melekat di saya. Terlalu cantikkah saya? terlalu gemulaikah saya?

Hingga saya melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (SMP). Pengalaman itu masih teringat jelas di memori saya. Saya tidak akan menceritakan detail mengenai hal itu. Bisa dikatakan, saya mengalami pelecehan seksual oleh seorang lelaki dewasa yang sampai saat ini saya tidak tahu wajahnya seperti apa. Tetapi, alhamdulillah pelecehan tersebut tidak sampai ke tahap sodomi. Pengalaman pertama itu terbilang singkat. Tidak sampai 10 menit lelaki dewasa itu melecehkan saya.

Saya tidak tahu pasti kapan perasaan tertarik terhadap sesama jenis ini muncul. Yang pasti ketika saya berusia 13-15, pria lebih menarik hati saya dibandingkan wanita.

Selama masa pencarian jati diri, saya selalu mencari tahu mengenai homoseksual. Dan berikut ini yang sering saya temukan: dosa, hukuman, hinaan, dan lainnya yang cenderung negatif. Banci, homo, tidak percaya diri, tidak mempunyai banyak teman, lengkaplah sudah. Dari luar saya memang anak yang santun, namun saya seringkali "berteriak" di dalam. Meskipun lebih banyak memori yang kurang indah pada masa sekolah di memori saya, saya sempat memilki masa-masa indah bersama beberapa teman saya yang jumlahnya tidak banyak. Dan saya bersyukur mereka yang mau berteman dengan saya merupakan orang-orang yang tulus menerima saya apa adanya.

Singkat cerita, saya pun lulus SMA. Setahun setelah itu, mungkin tekanan yang saya alami sampai di puncaknya. Saya tidak tahu mau kemana. Mengapa hidup saya begini dan pertanyaan-pertanyaan klise lainnya ketika seorang remaja mencari jati dirinya. Pada saat itu usia saya memang mendekati 20, namun saya tidak memiliki tujuan hidup dan jiwa kekanak-kanakan masih terasa di dalam. Saya sempat menganggur atau sama sekali tidak ada rutinitas yang berarti selama kurang lebih 4-5 bulan. Selama pencarian tersebut, saya mulai mendapati titik terang. Saya mulai mempertanyakan apakah selama ini yang saya yakini merupakan kebenaran mutlak, termasuk keyakinan agama, tradisi yang dijalani, dan sebagainya. Saya mulai kembali dari yang paling dasar. Namun, hal tersebut tidak tiba-tiba menjadikan saya seseorang yang sangat religius, baik, santun, dll. Itu merupakan titik awal bagi kehidupan saya.

(Lanjut ke Part 2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline